Saat Hatimu Samar Membalas

2 0 0
                                    

Seringnya aku berkunjung ke E-07 rupanya membuatku dikenal kakak-kakak angkatan atas, termasuk dirimu.

Walaupun sikapku pecicilan, dan sepertinya kamu tidak menyukai sikapku yang satu itu, namun akhirnya terbuka juga komunikasi antara kita. Dan aku tidak cukup hebat untuk menghentikan debaran hatiku setiap berbincang denganmu. Mungkin juga debaran hatiku itu yg selalu membuatku salah tingkah di depanmu. Membuatku tampak lebih konyol

Kurasa cukup lama juga aku bisa terus menyembunyikan perasaanku. Yang pada saat itu aku yakin rasa suka itu hanya dari sisiku. Dan sebagai seorang perempuan, aku gengsi sekali untuk menunjukkannya.

Namun sepertinya waktu menjadi sekutuku. Seiring waktu, perlahan, samar bisa kurasa bahwa aku menjadi salah satu teman wanita yg cukup dekat denganmu. Itu adalah hal yang mahal. Karena kamu tidak bergaul dengan banyak perempuan.

Suatu hari, seorang kawan wanita kita, Jesi, mendekatiku. Dia pun sesama kuncen di E-07. Dia datang sambil senyam-senyum.

Jesi berbisik padaku, "Eh, sinar mata dia (kamu) kalau ngeliat kamu beda ya. Aku ga pernah loh ngeliat dia kaya gitu ke perempuan."

Aku membalas kalimat itu dengan senyuman. Berusaha tidak bereaksi berlebihan, karena saat itu pun aku masih dalam status pacaran dengan sahabatnya.

Aku tidak mau dia tahu betapa senangnya aku mendengar hal itu. Sampai bisa membuat aku tersenyum seharian.

Oh iya, aku bukan yang tidak sadar atas pancaran matamu. Aku sadar, dan aku sangat menikmatinya. Rasa nyaman dan hangat setiap kamu melihatku seperti itu. Tapi aku takut aku hanya ke ge-er an. Ah, membayangkannya saja sekarang membuatku tersenyum. Memang masa remaja itu begitu indah ya.

Setelah Jesi mengucapkan kalimat tadi, sepertinya aku tidak salah kalau ge-er. Dan sejujurnya, kilasan adegan-adegan saat kita ngobrol sambil saling menatap itulah yang sesekali singgah di mimpiku, yang perasaannya masih tertinggal sekejap kala aku terbangun.

Di tingkat kedua aku putus dengan pacarku saat itu. Jahatnya, aku memutuskannya lewat sms. Aku tidak merasa kehilangan, malahan lega, karena ya aku tahu, bukan mantanku si Juna itu yang aku inginkan untuk menemani hari-hariku.

Tapi yang patut kusyukuri, sesudah putus kami berteman baik. Hal ini malah membuatku merasa bersalah pada Juna. Sempat aku meminta balikan karena rasa bersalahku, namun (untungnya) dia tidak mau. Juna memang baik. Dia masih menjadi teman yang baik sampai sekarang.

Di masa-masa sesudah putus, kalau kita ketemu di E-07, kita sering makan siang bareng di warung-warung sekitar kampus. Bersama teman lain, atau hanya berdua saja.

Kurasa waktu itu kamu hanya ingin menghiburku yang baru saja putus. Dan saat kamu tahu aku sempet mau balikan dan ditolak oleh Juna, kamu bilang,"Si Juna itu bodoh banget sih. Apa mau aku hajar ya?" Kamu mengucapkannya dengan datar. Tentu saja bukan menghajar beneran, hanya ungkapanmu. Kalimat datar yang membuatku merasa menjadi orang yang berharga untukmu.

Seiring waktu, semakin sering kita bertemu, namun tak ada status di antara kita. Aku tidak berani menunjukkan perasaanku secara gamblang padamu. Apalagi pernah sekali saat kita duduk di pinggir lapangan basket, di bawah pohon sambil menonton mahasiswa yang sedang latihan, mengomentari pasangan-pasangan kampus yang lewat, kamu bilang begini,

"Aku ga mungkin lah jadian sama kamu, Meelodi. Buat aku kamu tuh kependekan." ucapmu singkat sambil tertawa jahil. Jujur aku tak mengerti mengapa tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulutmu. Dugaanku, kamu sudah menyadari perasaanku dan menolakku secara tidak langsung.

Saat itu hatiku luluh lantak seperti dipotek- potek. Tapi besoknya kita makan siang bareng lagi berdua di warung, dan kamu melihat aku dengan tatapan mata hangat yang Jesi gambarkan. Betapa aku seperti sedang naik roller coaster Mungkinkah saat itu kamu masih tidak enak untuk mendekatiku karena aku adalah mantan sahabatmu, Juna?

Suratku untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang