Yogyakarta

1 0 0
                                    

Akhir semester dua, seperti biasanya para mahasiswa rantau berpulangan ke daerah asalnya. Begitu pun kamu. Tapi bukan ke Bangka di mana ayah ibumu berada, tapi ke Yogyakarta. Kamu mengunjungi pakdemu. Aku sedih, terbayang tidak akan bertemu denganmu untuk waktu yang cukup lama.

Waktu itu aku memberanikan diri agar kamu mengabariku kalau sudah sampai di sana. Kamu hanya bilang, "Telepon interlokal mahal." Dan aku sepertinya sedikit cemberut, hingga akhirnya kamu berkata,"Nanti aku usahakan ya." 

Masa itu memang tidak semua orang memiliki handphone seperti saat ini. Dan tidak ada aplikasi karena handphone belum memiliki internet. Jadi hanya telepon dan pesan saja yang bisa menghubungkan kita. Bisa saja aku ke warnet untuk mengirim e-mail untukmu. Namun selain akan menyusahkanmu karena kamu pun harus mencari warnet, aku tidak mau menunjukkan perasaanku secara terang-terangan.

Tapi aku jadi malu sendiri mengingatnya. Berani sekali aku memintamu menghubungiku. Sepertinya rasa ingin semakin dekat sudah mengalahkan rasa gengsiku.

Aku menunggu sehari dua hari kabar darimu. Aku hampir putus harapan. Namun akhirnya  sebuah sms masuk, dan ternyata itu dari kamu! Aku senang sekali. Kamu menggunakan handphone pakdemu untuk mengabariku. Kamu mengatakan bahwa kamu sedang di rumah pakdemu, dan baru bisa mengubungi sekarang.

Bodohnya aku! Aku memencet tombol 'hapus' sesaat sesudah aku membaca sms mu. Sepertinya aku terlalu grogi. Saat itu aku mau nangis rasanya. marah karena kekonyolan yang dilakukan oleh diri sendiri.

Tahukah kamu apa yang aku lakukan sesudahnya? Aku berusaha mengingat nomor handphone pakdemu. Sekilas aku melihatnya, itu nomor cantik. Dan sekilas aku tahu provider apa yang digunakan pakdemu, dan aku juga punya saudara di yogya, jadi aku lihat nomor wilayah yogya untuk provider itu.

Saat itu aku begitu konyol. Aku mencoba mengirim sms ke kurang lebih 7 nomor, dengan kalimat,"Selamat siang, apakah ini nomor pakdenya Yohanes Wijaya?" Dan hebatnya aku, salah satu dari tujuh nomor itu memang milik pakdemu!

Langsung aku simpan nomor itu. Dan aku bertanya apakah bisa bicara dengan Jaya (via sms)? dan dilanjutkan dengan saling balas sms antara kamu dan aku. Kalau saja waktu itu ada teknologi screenshot. Pasti sudah aku screenshot percakapan kita, aku print, dan tempel di buku scrapbook ku. Hahaha lebay banget ya.

****

Masih subuh saat aku tiba di Stasiun Yogyakarta. Ingin sekali aku memotret wajahmu yg tampak tak percaya saat menjemputku di stasiun. Sayangnya belum ada teknologi kamera di handphone pada saat itu. Kamu kaget karena aku datang sendirian. Menempuh 8 jam perjalanan dari Bandung untuk bertemu denganmu.

Kalau dipikir-pikir, betapa impulsifnya aku, dan betapa egoisnya aku saat itu. Aku tidak memikirkan bahwa kamu harus meninggalkan acara keluargamu untuk menemaniku beberapa hari selama di Yogyakarta.

Aku hanya berpegang pada kalimatmu di sms,"Ke sini dong." Entah itu sungguhan atau sekedar basa basi. Kalimat itulah yang mendorongku langsung berkemas, dan membeli tiket kereta ke Yogyakarta. Begitulah aku. Impulsif, tidak berpikir panjang.

Kamu menemaniku ke Malioboro. Sekedar menyusuri jalanan itu. Berbincang di tengah padatnya trotoar Malioboro. Kita pun makan bersama, sampai akhirnya kita memutuskan pergi ke Prambanan.

Aku senang sekaligus gelisah saat pergi ke sana. Senang karena bersamamu, hanya berdua, dan merasa hari ini akan menjadi milik kita berdua saja. Namun di sisi lain aku gelisah karena mitos Prambanan. Sepasang kekasih yang mengunjungi Prambanan bersama-sama, tidak akan berakhir bahagia, pasti berpisah. Kamu tahu sendiri kan benar tidaknya mitos itu berdasarkan kisah kita.

Setelah mengelilingi Prambanan, tanpa foto-foto, kita istirahat di Taman Prambanan. Sambil duduk di ayunan taman, ngobrol sana sini.

Tidak ada petunjuk apa2 tiba2 kamu memegang tanganku dan berkata,"Melodi, aku punya bayangan kalau aku tuh bakalan bareng sama kamu. Tapi ga sekarang." Mungkin suasana di Prambanan telah mendorongmu untuk mengutarakan isi hatimu. Yang tak pernah kamu sampaikan selama di Bandung.

Aku diam

Bingung harus bereaksi seperti apa saat itu. Tapi tidak dapat dipungkiri aku merasa perasaanku benar2 bersambut denganmu.

"Namun, mengapa tidak sekarang?" Ucapku dalam hati. Ada rasa kecewa juga karena seperti ditolak untuk kedua kalinya tanpa mengungkapkan apa-apa. Yah saat itu aku belum mengerti. Aku masih kekanakan, semua serba terburu2. Dan kusadari sekarang, pastinya kamu sudah yakin dengan apa yang aku rasakan padamu saat itu. Apalagi terang-terangan aku mengejarmu ke Yogyakarta untuk menghabiskan liburanku bersamamu.

Baru kusadari maksudmu tidak sekarang karena kamu menunggu waktu yang tepat, dan juga menghargai Juno, mantanku.

Baru kupahami juga bahwa kamu memperhitungkan kalau kedekatan kita akan membuat kisruh kakak-kakak angkatan atas alias sahabat-sahabatmu. Istilahnya saat itu KMK, Kawan Makan Kawan. Sejarahku adalah mantan sahabatmu. Egoisnya aku menutup mata untuk status ini.

Namun jujur,  aku terlalu egois, belum dewasa. Saat itu aku tak peduli. Yang masuk ke kepalaku adalah kau pun punya rasa yang sama untukku. Titik. Kunobatkan Yogyakarta sebagai saksi untuk pertama kalinya kita bergandengan tangan. Dan yang lebih istimewa adalah kamu yang memulainya.

Suratku untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang