"Handphone kamu mati?"
Baru lima langkah Antariksa menginjakkan kaki diluar pelataran sekolah, Om Danu sudah menyambutnya dengan pertanyaan aneh yang sebelumnya tidak pernah sama sekali beliau tanyakan padanya.
"Lowbat," jawabnya. "Kenapa emang?" Sembari membuka pintu mobil, remaja itu bertanya.
Om Danu juga melakukan hal yang sama — masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi dengan ponsel yang terus diutak-atik olehnya.
"Pak Ardi bilang tidak bisa menghubungi kamu."
Saat jawaban itu keluar, antariksa mengerutkan keningnya. Buat apa Papa menelponnya?
"Sebentar, saya telpon beliau lagi."
"Ngga usahlah. Buat apa coba?"
"Pasti ada hal penting yang mau beliau bicarakan sama kamu."
Mobilnya masih belum dijalankan sebab om Danu masih menunggu jawaban dari Ardi Nareswara diseberang sana.
"Nah," ponselnya langsung diserahkan pada Antariksa saat panggilan tersambung.
Dan meskipun dengan raut kesal serta gerakan tangan yang terkesan ogah-ogahan, Langit tetap menempelkan benda persegi itu pada telinganya. "Mau apa?" Tanyanya, to the point, tanpa basa-basi bahkan sapaan terlebih dahulu.
"Hp kamu kenapa dimatikan?"
"Lowbat."
Hening sejenak, dan Antariksa hampir saja menyerahkan ponsel itu kepada pemiliknya sebelum suara Papa kembali mengudara, memecah keheningan yang tercipta di dalam sana.
"Nareswara."
"Apa?"
"Bukannya Papa udah bilang buat belajar?"
Kali ini, sebelah alisnya dikerutkan. Bukannya Papa juga sudah tau kalau putranya yang satu itu selalu belajar dari pagi sampai malam? Beliau juga yang telah memaksanya untuk mengikuti les sepulang sekolah sampai Langit tidak punya waktu istirahat karena terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan materi pelajaran.
"To the point aja, Langit sibuk."
"Nilai ujian fisika kamu cuma 78."
Kali ini, matanya yang bereaksi saat kalimat Papa mengudara. Bahkan hasil ujian tengah semester baru keluar tadi pagi, tapi bagaimana Papa bisa tau secepat ini?
"Pa —
"Mau alasan apalagi?" Suara beliau mulai meninggi. "78 ngga cukup, Nareswara, kamu ngerti nggak?!"
Matanya di pejamkan sembari menarik napas dalam. "I've tried to do my best, and that's the result."
"Tried to do your best?" Suara tawa remeh nya terdengar. "Lakukan, Nareswara, bukan mencoba. Papa mengeluarkan banyak uang buat biaya les kamu bukan dengan harapan kalalu kamu bisa mendapatkan nilai 78!"
Lalu, saat merasa kalau tidak ada gunanya melawan Papa, Antariksa hanyaa bisa menarik napas dalam agar emosi bisa mereda. "Maaf."
"Nggak boleh kemana-mana selain sekolah, les sama check up."
Itu adalah sebuah perintah, namun Langit tidak mau menerimanya begitu saja karena — yang benar ada saja, dia sudah kelas 11, bukan anak kecil yang bisa Papa larang kemana-mana saat mendapatkan nilai kecil disekolah.
"Pa, ngga bisa gitu dong," bantahnya.
"Apa? Mau membantah kamu?"
Lalu, saat remaja itu sudah benar-benar terpojok dan tidak bisa melakukan negosiasi dengan Papa, dia hanya bisa pasrah. "Terserah," jawabnya, langsung mematikan sambungan telepon dan memberikan ponsel itu kepada pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story On Earth
FanfictionHampir seluruh umat manusia berharap dilimpahi materi yang berkecukupan untuk menunjang kehidupan yang mereka jalani diatas bumi ini, tetapi, Antariksa Langit Nareswara lain lagi, sebab, jika dibandingkan dengan materi, Langit lebih ingin merasakan...