Dimulai dari dipejamkannya mata nan indah itu. Tak luput pula dengan telinga yang sungguh ingin ditutup rapat olehnya. Hal itu disebabkan oleh keadaan yang dihadapinya saat ini. Suara yang silih berganti membuat kepalanya terasa pening.
Dirinya terus menunduk tanpa henti. Rasa sesak di lubuk hati yang tak dapat ia hindari. Mengapa? Sebab kini kedua orang tuanya sedang beralibi tanpa memahami pendapatnya. Nayanikanya terasa memanas. Ia tak sanggup menahan air matanya yang tak terbendung lagi. Tenggelam dalam nuansa yang tak ia sukai.
"Untuk saat ini, sebaiknya kamu tak perlu memikirkan soal libur," kata ibunya.
Kemudian ayahnya menambahkan, "benar, apapun keinginanmu sekarang, simpan saja. Jangan terlalu memikirkan hal itu."
Gadis itu menggeleng pelan. "Ibu-."
"Gebrak!"
Sang ayah mulai memukul meja yang berada di tengah mereka. "Aleen! Kamu masih memiliki telinga, bukan? Jangan membahas liburan!"
"Apa salahnya membahas ini? Bukankah baik? Masalah uang? Tumben?" Keluarga Aleen adalah keluarga yang kaya. Tentu saja uang bukan masalah dari pertengkaran ini.
"Jadilah anak yang penurut, kami akan terus mengawasimu." Ibunya tak sanggup duduk lebih lama dengan anaknya yang ia rasa telah mengecewakan hatinya.
Belum sempat ayahnya menarik napas, suara yang tak asing dari pintu pun terdengar.
"Assalamualaikum! Ada orangnya? Ini Hira."
Sang ibu pun melirik ke arah pintu dan menjawab, "iya, ada, sebentar." Dengan suara yang sedikit ditinggikan.
"Ibu, biar aku yang membukakan pintu," tawar Aleen ketika mendengar suara dari luar rumah tersebut.
Namun sang ibu malah menahan tangannya saat Aleen hendak menuju ke depan pintu. Dilihat dari tatapannya, sang ibu tak setuju dengannya. Rasanya, ia khawatir bahwa anaknya tak dapat menyambut tamu dengan baik.
"Aleen, kembali ke kamarmu, dan jangan ceritakan hal ini pada siapapun," titah ibunya.
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Aleen itu kini berdiri dan menghilang dari ruangan tersebut. Dirinya masuk ke dalam kamar. Ya, ruangannya sendiri yang lebih menyejukkan hati dibanding ruangan-ruangan lain yang berada di dalam rumah ini.
Ia menuruti perkataan orang tuanya. Ia memahami apa yang dijelaskan kedua orang tuanya. Namun tidak sebaliknya.
Ayah Aleen, Hizam Sabqi, ia sedang membuka pintu rumah. Dan tampaklah seorang wanita paruh baya yang wajahnya terlihat mirip dengannya. Dan mungkin saja bisa disebut cerminan wajahnya namun ia adalah versi perempuan. Tentu saja ini karena wanita itu adalah kakaknya. Namanya Mahira Asyrah. Ia memang sering mengunjungi adiknya meski sudah menikah.
"Waalaikumsalam." Istri dari Hizam, yang tentu saja adalah ibu kandung Aleen, Azizah Rahmaniah, ia menyambut kakak iparnya dengan tersenyum.
"Hari ini suamiku sudah berangkat kerja dari jam tujuh, bagaimana denganmu, Hizam?"
"Aku sedang berlibur, Mbak."
Jawaban dari adiknya itu hanya membuatnya mengangguk-anggukkan kepala dan bergumam, "ohh, pantes."
"Emm.. Umi dimana?" Yang dimaksud adalah Ibunya dan juga ibu dari adiknya. Nenek dari Aleen.
Lalu Hira mencari seseorang yang seharusnya ikut menyambut dirinya. "Dimana anakmu? Jangan bilang dia sedang bermalas-malasan. Didik anakmu dengan benar, Azizah." Begitu katanya sembari duduk di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelita Asa Menuju Baitullah
Teen FictionSeorang gadis dengan labirin kehidupannya. Ia terjebak dalam hidupnya yang tak memiliki alur tetap. Dia hanyalah manusia biasa yang baru saja memperbaiki kepingan titik ketidaktahuannya. Bangkit sendiri tanpa rangkulan dari kedua orangtuanya yang si...