Part 8: I love you

60 5 0
                                    


Selama aku bercerita, Laksita menatapku dengan intens untuk memastikan aku tidak berbohong.

Aku jadi grogi.

Aku bercerita sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, karena percuma juga kalau berbohong.

Laksita menghela napas setelah aku selesai bercerita.

Ia menunduk lalu menggenggam tanganku dengan erat.

Aku hanya mendengar deburan ombak karena sampai detik ini Laksita masih bungkam.

"Kak?" panggilku.

"Lintang..." sahutnya. Aku hanya membalas dengan berdeham.

"Apa yang kamu rasain sekarang?" tanyanya tapi masih menunduk.

Aku bingung apa maksud pertanyaannya?

Karena aku tak kunjung menjawab, Laksita mendongak menatapku lalu dia menangkup pipiku dengan kedua tangannya.

"Apa yang kamu rasain, Lintang? Semua orang perlakuin kamu dengan ga adil. Semua orang, termasuk aku. Apa yang kamu rasain? Kecewa? Sedih? Marah?"

Aku memegang tangan Laksita yang ada di pipiku lalu tersenyum padanya.

"Aku bahagia. At least untuk detik ini. Aku bahagia karena ada kamu di sini," sahutku.

"Kalau aku ga di sampingmu sekarang?"

"Hmm, mungkin aku cuma sedih. Tapi sedih dikit aja sih. Lagian aku udah ngalamin banyak hal buruk dari aku kecil, Kak, jadi bisa dibilang aku udah cukup kebal. Kejadian malem ini bukan apa-apa. Aku bisa nahan sakit yang dikasi sama seluruh manusia di seluruh dunia, kecuali rasa sakit pas kamu minta Bunda untuk adopsi aku."

"Kamu kecewa banget ya malem itu?" tanya Laksita. Aku merasakan sorot matanya yang berbeda.

"Kalo boleh jujur, kecewa banget. Di hidup ini aku ga punya harapan apapun selain jadi pasanganmu nanti, Kak, jadi tolong batalin niatmu itu karena kalo aku officially jadi saudaramu, aku bakal beneran ga punya harapan lagi," ujarku lalu mencium tangan kanannya dengan lembut.

"Walaupun kamu emang selamanya ga punya perasaan sama aku, gapapa kok. Tapi biarin aku punya harapan, ya, Kak? Biarin aku berharap biar aku bisa ngerasa hidup." Lanjutku.

Laksita langsung memelukku dengan erat.

"Maaf, Lintang. Aku bodoh banget. Aku terlalu sok tau sama hidupmu. Aku pikir aku udah ngelakuin yang terbaik untuk kamu, aku pikir aku beda dari mereka semua, ternyata sama aja. Ternyata aku juga bikin kamu sakit, malah lebih parah."

Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Aku bahkan belum membalas pelukannya.

"Aku sayang kamu, Lintang."

"Iya, Laksita, aku tau. Kalo kamu ga sayang aku, kamu ga mungkin duduk di sini sama aku. Makasih udah sayang sama aku," balasku sambil balas memeluknya.

Aku paham Laksita hanya menyayangiku sebagai teman dekatnya dari bayi. Aku paham Laksita selamanya hanya melihatku sebagai adik kecilnya. Bukan masalah. Setidaknya Laksita menyayangiku.

"Aku cinta kamu, Lintang."

"Iya, aku paham—"

"Ga, Lintang, kamu ga paham. Ini bukan kek yang kamu pikirin. Denger baik-baik. Aku cinta kamu, Lintang."

Aku terdiam.

Apa maksudnya?

Kemudian aku terkekeh.

Astaga. Laksita salah paham. Aku ngomong gitu kan bukan untuk ngemis cintanya?

"Kak, kamu ga perlu ngomong gitu cuma untuk ngehibur aku—"

Namaku Lintang | WonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang