Part 1: Lintang Ramandha

315 15 1
                                    


Selamat pagi dunia! Aku berharap pagi kalian menyenangkan karena pagiku tidak. Bayangkan saja memiliki kakak perempuan yang dengan tanpa perasaan membangunkan adiknya dengan cara brutal.

Kakak perempuanku yang kata orang 'titisan seorang Dewi' nyatanya adalah jelmaan iblis. Masa dia membangungkanku dengan cara  menarik kakiku hingga aku terjatuh dari kasur. Aku pikir aku mimpi jatuh tergelincir dari Gunung Rinjani, ternyata jatuh beneran cuma beda lokasi aja. Huft.

"Bangun!"

Tuh, belum juga nyawaku kekumpul, kakakku udah teriak lagi sambil melempar handuk ke mukaku.

"Iya, iya. Ini adek bangun!" seruku kesal sambil membuka mata dan berdiri. Kakakku mendorong aku hingga masuk kamar mandi. Sabar kek?

"Ga pake lama, ya, Lintang!" teriaknya lagi. Aku enggan membalas.

Karena tidak mau diteriaki lagi, aku segera mandi dan mengganti pakaianku.

Berkaca di depan cermin untuk memastikan aku sudah tampan dan rapi, lalu aku mengambil tas dan siap turun ke bawah bergabung bersama kakak dan abangku.

Jadi, yah, aku adalah si bungsu dari 3 bersaudara. Si bungsu yang sering tertindas oleh saudaranya. Tapi sayangnya badanku yang paling tinggi di antara mereka.

Aku lihat abangku di meja makan tapi sedang terburu-buru. "Buru-buru amat, bang? Kelas pagi emangnya?" tanyaku.

"Iya, jir, kelasnya tiba-tiba dimajuin. Rese emang. Eh, kamu berangkat sama Karin, ya, dek." jawab bang Tiyo.

"Hah? Enak aja. Aku kan udah bilang gak sekolah, Bang. Aku dispen loh ada proker," sahut kak Karin.

"Yauda sih, aku bisa nyetir sendiri loh?"

"Kamu belum punya SIM, ga usah aneh-aneh." Aku memutar bola mataku malas mendengar ucapan si Tiyo.

Emang sih bener aku belum punya SIM karena umurku belum 17. Tapi teman-temanku banyak kok yang udah bawa motor dan mobil sendiri ke sekolah walaupun belum punya SIM. Wajar dong aku FOMO?

"Berangkat bareng Laksita lagi, ya, dek. Tadi aku lihat dia belum berangkat," ujar kak Karin.

Aku tidak membalas dan langsung saja memakan roti panggang milikku.

"Bye, gue duluan. Kalian hati-hati di jalan, inget kabarin kalo udah sampe tujuan, ok?"

"Huum."

Bang Tiyo mencium pipiku dan Karin setelah kami berdua salim kepadanya. Itu rutinitas kami sejak kecil, jangan judge kami ya.

"Gih, buruan ke sebelah. Biarin aku yang cuci piringnya. Takutnya kamu ditinggal Sita," ucap kak Karin.

Aku mengangguk membetulkan ucapannya. Aku salim padanya lalu mendapat ciuman di pipi.

"Bye!"

Aku berjalan cepat menuju rumah sebelah. Bernapas lega ketika mendapati mobil jazz putih masih nangkring di halaman depan.

Terlihat seorang perempuan dengan seragam yang sama dengaku tapi bedanya dia menggunakan dasi bergaris tiga, yang artinya dia adalah seniorku. Dia sudah bersiap-siap masuk mobil.

"Kak, tunggu! Nebeng lagi, ya, boleh gak?" seruku sambil menghampirinya.

"Lintang? Kok gak nge-chat bilang mau bareng? Hampir aku tinggal loh, kirain kamu bareng Karin," sahut Laksita. Setelahnya aku dipersilahkan masuk ke mobilnya, tentu aku berada di kursi penumpang dan Laksita yang mengemudikan mobilnya.

"Kak Karin ga sekolah terus Bang Tiyo tetiba ada kelas pagi dadakan makanya ga sempet nge-chat, sorry ya kak."

Laksita terkekeh, "Santai aja. Kita berangkat sekarang, ya, kamu udah sarapan?"

Namaku Lintang | WonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang