Nama Keluarga Wilder

3 0 0
                                    

Api berkobar hebat, dinding kayu mulai berjatuhan ke lantai sembari mengepulkan asap, suara api yang melahap kayu terus terdengar, suhu di dalam rumah semakin naik dan menyesakkan dada.

Terlalu panas, lantai yang mereka pijak perlahan mulai hancur, menjadi bara api yang menyala, tirai-tirai yang awalnya menggantung di ambang jendela kini telah berubah, menari-nari dimakan oleh api.

Tidak ada yang berniat menerobos masuk menyelamatkan mereka, tidak ... bukan karena tidak ingin, tapi tidak bisa.

Seorang wanita memeluk putranya dengan erat, terjebak di tengah api yang berkobar, air mata berderai membasahi wajah yang kuyu, sekujur tubuhnya gemetar hebat, rambutnya yang kusut itu terlihat lepek di bahu, gaun yang ia kenakan sudah setengah terbakar.

Ia tidak bisa lari, ada rantai yang mengikat kakinya.

"Oh, tidak ....."

Manusia biadab itu tidak ingin membiarkannya hidup dengan tenang, bahkan untuk kematiannya pun tidak dipermudah.

"Sialan!"

Manusia biadab itu ingin ia dan anaknya mati dengan tragis!

"Kamu sialan!"

Wanita itu menggertakkan gigi, matanya merah menatap ke segala penjuru yang sekarang penuh dengan api, kaki yang dirantai itu sekarang sudah mati rasa, sudah lama tidak bisa berjalan.

Setelah sekian lama terkurung, sekarang ia harus mati terbakar.

Semua ini karena cinta, sialan, jika ia tahu cinta akan membuat hidupnya berakhir dengan tragis seperti ini, lebih baik ia mati saja saat itu!

"Sialan!" Wanita itu lagi-lagi mengumpat, kakinya yang mati rasa terkena bara api yang jatuh dari serpihan yang berjatuhan dari atas.

Tidak apa-apa jika ia berakhir seperti ini.

Tapi anaknya, putra satu-satunya dengan manusia biadab itu tidak seharusnya mati bersamanya.

Wanita itu menatap putra yang ada di pelukannya dengan lama, di tengah api yang perlahan mulai memakan tubuhnya, matanya yang merah menatap sekali lagi ke arah kaki yang terlilit rantai.

Putra yang ada di pelukan baru berumur lima tahun, belum mengerti dunia, seharusnya ia tidur di ranjang yang empuk dan hangat, minum secangkir susu dan bermain mobil kayu dengan sang Ayah.

Tapi pada kenyataannya, bahkan untuk keluar dari tempat ini saja adalah yang hal yang mahal untuk mereka.

"Ibu ...."

Sang anak mengerti kalau sekarang mereka sedang tidak baik-baik saja, tidak banyak hal yang ia tahu di dunia ini, sehari-hari yang dilalui adalah kegelapan, suara derak rantai di kaki sang Ibu dan Ayah.

Ayah yang tidak pernah ia lihat.

"Naik, dengarkan Ibu, kau harus bertahan hidup." Wanita itu menggertakkan gigi, rasa panas dan pedih semakin naik ke paha. "Kau masih bisa ... keluar dari sini ...."

"Tidak aku ...."

KREK ...

BRAKH!

Api yang menyala merobohkan dinding, rasa panas yang membara membuat wajah serasa terbakar, sang Ibu tahu tidak akan ada waktu lagi untuk menyelamatkan diri, ia tidak bisa, tapi putranya bisa.

"Pergi! Selamatkan dirimu!"

Wanita itu menggunakan kekuatan terakhirnya, mendorong sang anak menjauh dari kobaran api.

"Ibu!"

Sang Anak yang terdorong menjerit, ia tidak ingin berpisah dari sang Ibu, baginya dunia tidak ada artinya, ia tidak tahu siapa pun, tidak kenal siapa pun.

"Pergilah dan temui Ayahmu!" Sang Ibu berusaha berteriak di tengah kobaran api yang semakin menggila. "Ingat! Ayahmu yang membuat kita seperti ini!"

"Ibu, aku tidak mau ...." Anak itu berusaha menerobos ke dalam api, tangannya melepuh, tapi rasa sakit yang ia miliki tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

"Ayahmu! Wilder! Pergi dan balaskan rasa sakit ini!"

"Ibu!"

"Hannes, ingat kata Ibu, Wlider!"

BRAKH!

***

"Hannes!"

Laki-laki yang bersandar di ambang jendela tersentak, ia melirik ke arah seorang laki-laki berpakaian pelayan yang menatapnya dengan kesal.

"Bukankah sudah berapa kali kubilang? Jangan tidur ketika aku menyuruhmu menyalin puisi. Ini mungkin bukan pelajaran yang menarik, tapi kau sebagai anggota keluarga Wilder harus menguasainya!"

Hannes mengusap wajahnya, melihat ke sekeliling, rumah yang rapi dan seorang pelayan, belum lagi beberapa buku yang menumpuk di atas meja, terlihat jelas sekali kalau semua itu adalah barang-barang mahal.

Belum lagi pakaian yang ia kenakan.

Belakangan Hannes tahu, kalau Wilder adalah nama keluarga kerajaan, seperti keajaiban setelah ia melarikan diri dari kobaran api malam itu, seseorang menyelamatkannya.

Ayahnya adalah bagian dari keluarga Wilder, hanya itu yang ia tahu.

Ia tinggal di rumah ini, makan dan pendidikan yang terpenuhi, semua itu karena ia memiliki nama Wilder.

Meski begitu, ia tinggal di wilayah paling utara, terpencil dari Ibukota Kerajaan, di mana keluarga Wilder tinggal, setelah dua belas tahun ia bahkan tidak pernah menemui satu pun anggota keluarga Wilder.

Ia hanya hidup bersama pelayan.

Pelayan yang bahkan tidak pernah menghormati Hannes.

"Hannes, kau dengar tidak?" Pelayan itu mulai jengkel, setiap hari ia harus mengurus anak pungut keluarga Wilder, jika bukan karena uang bulanan yang ia dapatkan ia akan melarikan diri. "Ada banyak puisi yang harus kau hapal!"

Sebenarnya bukan karena ia terobsesi mengajar Hannes, hanya saja ia tidak mau membuat anak itu menjadi mahir berpedang dan membiarkan ia lebih banyak di dalam ruangan.

Itu adalah perintah tuannya.

"Aku sudah selesai." Hannes berdiri, ia melirik pelayan yang mengambil buku dari meja. "Aku sudah menyalin 20 lembar dan sepertinya aku bisa keluar."

Hannes bukan orang yang suka berbasa-basi, setelah mengatakan itu ia langsung melengos keluar. Pelayan itu hanya mendengkus kesal, ia kemudian merapikan ruang belajar yang berantakan.

Di halaman yang sepi, ia mengambil pedang kayu dan menggertakkan gigi, bahkan jika ia berlatih sendiri dan betapa berbakatnya dia, Hannes tidak akan bisa meninggalkan tempat ini.

Keluarga Wilder itu ... sepertinya ingin ia membusuk di tempat ini, sama seperti sang Ibu. Tapi mengapa sampai melakukan sampai sejauh ini?

Kebakaran yang menimpa sang Ibu itu adalah kesengaajaan, Ibu yang dirantai juga kesengajaan, tapi semua orang berpura-pura tidak tahu. Mereka sepertinya sengaja membuatnya ada di tempat ini agar menjadi orang yang tidak tahu apa-apa seumur hidup.

Hannes menggenggam pedang kayu di tangannya, keluarga Wilder sepertinya harus menjelaskan banyak hal dengannya.

"Hei, Hannes!" Roan, salah satu anak pengawal yang menjaga rumah ini berlari ke arahnya, tubuhnya sedikit tambun sehingga terlihat lucu ketika ia berlari.

Roan Espen, mereka seumuran sehingga mereka sering berlatih bersama dan menjadi teman yang akrab.

"Aku sepertinya menemukan cara, agar kau bisa pergi ke Ibukota!"

Hannes melihat senyum Roan, setelah mereka berteman bertahun-tahun mereka mengerti satu sama lain.

"Yah, kau memang selalu tahu apa yang aku inginkan."

Di tangan Roan, ada selebaran yang bertuliskan Festival berburu musim dingin kerajaan.

Sang PemburuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang