02

1 1 0
                                    


Happy Reading 💞

Diana Pov:

Pagi yang cerah di hari Minggu, hari ini gue datang ke acara reuni SMA. Yah nggak kerasa juga udah reuni, perasaan baru kemarin tuh MPLS. Maklum kerasa cepat karena gue bener-bener menikmati masa putih abu-abu itu.

Datang pakai outfit yang casual, dan pakai make-up tipis-tipis. Padahal beberapa hari sebelumnya gue sempet bingung mau pakai baju yang mana, ujung-ujungnya sih yang itu itu juga. Outfit yang nyaman dipakai.

Sampai di tempat acara, tanpa basa-basi gue langsung duduk di tempat yang udah disediain. Ada Vera, Vino, Galih, dan si Dian. Kita berlima udah temenan dari masa putih biru, udah besti banget lah pokoknya.

“Apa kabar, kalian? Nggak pernah chat gue lagi, sombong amat,” kata gue yang dihadiahi cengengesan dari mereka.

“Yaelah lo kagak masa kagak ngarti sih, biasalah pengantin baru, suka lupa waktu,” jawab Vino yang dapat anggukan setuju dari Vera. Mereka itu pasutri baru, acara pernikahannya sudah diselenggarakan dua bulan yang lalu.

“Kalo gue jangan ditanya, kesibukan gue dari dulu nggak berubah yaitu nyari cewek.” Nah kalo si Galih ini emang beda dari yang lain, dia dari SMA hobinya gonta-ganti cewek. Alias playboy.

“Kena karma tau rasa lo!” ejek gue sambil memutar bola mata malas.

Kalau diinget-inget, si Galih ini mantan pacar gue waktu SMA. Kita pacaran kurang lebih dua minggu, sangat sebentar. Andai waktu itu gue gak tahu kalau diselingkuhin, maka gak akan putus sampai sekarang. Kalo nginget itu, bawaannya pengen nyumpahin si Galih terus.

“Halah bilang aja lo belum moveon dari si Galih,” celetuk Vera. Nah kan mulai bawa-bawa masa lalu, lagian siapa sih yang gamon sama ntuh anak. Amit-amit dah!

“Najis!” ternyata sahutan gue gak bikin mereka diem, yang ada mereka makin menjadi-jadi ngeledek gue.

Sampai akhirnya suasana kembali hening karena tiba-tiba aja si Dian ngeluarin beberapa undangan pernikahan dari tasnya. Dan di situ tertulis Dian Sanjaya dan Putri Rachella.

Vino yang duduk tepat di samping Dian, buru-buru ngambil surat undangan itu, dan membacanya. “Buset?! Serius lo mau kawin? Emang ada ya yang mau sama es batu kayak lo?” Pertanyaan beruntun itu membuat decakan keluar dari bibir Dian.

"Serius Yan? Kok tiba-tiba?" heran, karena memang selama ini si Dian itu gak pernah deket sama cewek, bahkan sodaranya sekalipun. Dian itu terlalu flat, dan minim ekspresi.

Dian tampak menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan yang gue lontarkan tadi. "Gue dijodohin." Satu kalimat itu bikin suasana meja kita kembali hening.

Sudah nggak aneh sih kalau dijodohkan, pasti perihal bisnis. Yang gue tahu, bokapnya Dian itu tergila-gila sama harta dan kekuasaan. Bahkan waktu SMA aja si Dian pernah mau dijodohin persis seperti sekarang, untungnya cowok itu berhasil kabur.

“Lo serius? Coba ceritain,” nah kali ini yang minta penjelasan, si Vera. Dia emang kepoan anaknya, harus bener-bener tahu ceritanya dulu baru deh bisa diem.

Dian meminum kopi yang ia pesan, lalu memusatkan atensinya ke kita-kita. "Perusahaan.” satu kata yang membuat kita semua paham. Jadi karena perusahaan lagi toh, pantas aja.

“Oke, kita-kita bakal dateng!" Seru gue setelah semuanya gak ada yang bersuara.

“Jangan lupa bawa partner.”

Sial!

---

Kalau kata orang, gue ini cantik, punya badan ideal, dan pinter. Waktu SMA dulu, sering dapet juara satu di kelas, dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Padahal nggak pernah belajar, menghafal, atau membaca buku. Menurut gue sih lagi hoki aja.

Waktu SMA, gue termasuk anak yang mudah bergaul dan famous. Terkenal dengan kenakalan ataupun karena prestasi, yang pasti nggak jauh dari dua hal itu.

Ada juga kisah kasihnya, gue punya pacar namanya Elgara, cowok yang selalu disapa El atau Elgar itu punya karakter yang cukup membuat kaum hawa terpikat—tak terkecuali diri gue sendiri.

Dia baik, dia pintar, punya postur tubuh yang ideal, sixpack juga. Wajahnya tampan, tingginya kira-kira sekitar seratus tujuh puluh—eh itukan dulu, nggak tau kalau sekarang karena gue nggak pernah ketemu dia lagi.

Perfect personality, itulah yang bikin gue suka sama dia, sangat-sangat suka. Tapi itu awalnya aja, setelah kita menjalankan hubungan sekitar satu tahun tepat semuanya terbongkar. Dia selingkuh sama temen kampus-nya, fyi kita emang selisih tiga tahun.

Gue yang tau itu tentu marah, kecewa, dan gak nyangka kalau dia bakal begitu. Gue nyamperin dia dengan emosi, dan putus tepat hari itu juga. Dia sempet ngelak kalau dia nggak selingkuh, tapi gue nggak percaya. Karena 'mana ada maling ngaku'.

Sangat disayangkan, he's my first love.

----

Huftt gatau nulis apa. Yang jelas gimana sama yang satu ini? Sama part ini? Padahal setiap orang punya alasan lhoo... Cuma mau berpesan💌

Jangan ngambil keputusan pas lagi emosi, karena emosi membuat kamu kehilangan banyak hal.

Ini berdasarkan pengalaman, and setiap orang punya alasan tersendiri. Balik lagi ke kitanya, mau mendengarkan alasan itu atau nggak. Kalau kamu milih nggak, berarti kamu harus siap menyesal. Dan kalau kamu milih mendengarkan, maka kamu harus siap juga untuk merasa kecewa tapi lega.

Pilihan ada di tanganmu.



From the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang