《—Luke—》
Today
-17-07-2023Bagian awal dari lagu debut One Direction yang berjudul What's Makes You Beautiful menggema ke seluruh sudut kamar ini, menarik paksa diriku dari alam mimpi. Alarm yang sengaja aku setel untuk membangunkan tubuh malas ini setiap pagi. Dihadapkan dengan pemandangan yang sama setiap hari selama satu tahun terakhir aku tinggal di unit apartment yang bisa dibilang cukup luas ini. Yeah, I don't live with them anymore. hubunganku dengan Sydnéy semakin memburuk sejak hari itu. Aku hanya sesekali mengunjungi mereka untuk melaksanakan tanggung jawabku sebagai satu-satunya alpha dalam keluarga sekaligus kakak tertua.
Bangkit dari tempat tidurku dengan bertelanjang dada dan rambut berantakan, berjalan beberapa langkah lalu terhenti di depan cermin besar yang ada di kamarku. Melihat bagian belakang tubuhku yang dipenuhi corak mirip akar serabut. Well, that's not tattoo at all melainkan bekas sambaran petir yang konyolnya pernah aku anggap tatto saat masih kecil. Semua ini gara-gara gadis beta sialan yang menyumpahi-ku waktu itu, siapa lagi kalau bukan Sydnéy.
Kemudian melangkahkan kakiku keluar dari kamar menuju dapur, mengambil satu sachet kopi instan untuk kemudian kuseduh dan kunikmati di pagi yang agak mendung ini.
Kopiku telah siap dan aku pun berjalan menuju balkon. Membuka gorden dan pintu geser lalu mendudukkan diriku di kursi yang ada di sana, mempertemukan bibirku dengan pinggiran cangkir kopi yang ada di tanganku, mulai menyesap cairan berwarna hitam tersebut. Pandanganku mengarah ke bawah, memerhatikan jalanan kota New York yang mulai sibuk pada jam-jam seperti ini. Para pekerja yang pergi memulai hari kerjanya dan segelintir anak sekolah yang terlalu disiplin yang sedang berangkat ke sekolah.
Wait, anak sekolah? Gosh! aku baru ingat, hari ini aku berjanji pada Ariana untuk mengantarnya di hari pertama ia masuk High School. Aku segera menghabiskan kopi-ku dalam satu tegukan lalu bergegas berlari ke kamar mandi dan bersiap-siap. Bagaimanapun aku harus tetap menepati janjiku pada Ari meskipun itu berarti aku harus sekalian mengantar Sydnéy karena mereka sekolah di tempat yang sama.
Setelah selesai bersiap-siap dengan outfit seadanya berupa t-shirt berwarna putih, skinny jeans hitam, dan varsity jacket berwarna cokelat dan tidak lupa tas ransel berisi buku catatan dan laptop yang telah kusiapkan tadi malam. Aku mengambil kunci mobil dan langsung turun menuju parkiran apartment, mencari mobilku lalu mengendarainya secepat yang aku bisa atau Sydnéy yang sangat disiplin itu akan memarahiku karena membuatnya 'terlambat' ke sekolah. I mean, c'mon! Sekolah baru dimulai pukul delapan lewat lima belas menit, masih sekitar satu jam dari sekarang. "Dasar anak OSIS.." gerutuku sambil memukul setir mobil di depanku.
◇◇◇◇◇
Dua puluh menit perjalanan aku habiskan dengan gerutuan panjang hingga pada akhirnya aku sampai di depan rumah warisan papa yang kini ditinggali oleh Sydnéy dan Ariana. Dari luar, terdengar samar olehku suara-suara ribut seperti teriakan dan rengekan yang aku asumsikan berasal dari Ari. Aku pun mengetuk pintu dan menekan bel yang ada di sampingnya.
Ding-dong
Tidak ada jawaban.
Haa... bahkan suara bel rumah ini kalah dengan teriakan adik bungsuku itu. Pintu itu kubuka hingga berderit pelan mengingat usianya yang sudah tua, menampilkan kekacauan yang terjadi di dalam. Ruang depan yang agak berantakan, serta Sydnéy yang berusaha membereskan semuanya sambil terus mengomel. Belum ada yang menyadari keberadaanku di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy in Red
Misterio / Suspenso"Jadi bagaimana menurutmu, little boy? Kau siap dengan kehidupan baru yang penuh darah merah ini?" "Aku terima tawaranmu. Mulai saat ini, hidupku untuk membunuh orang lain." **** "S-Sydney? What? You're alive? How can? Dan lagi, KENAPA LO NGEJEBAK G...