#3 Sara

46 4 3
                                    

Pukul 7.50 pagi, Sara duduk di lobi apartemen Puri Indah dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari setengah jam Carin belum membalas pesannya. Sebelumnya, kakak beradik itu sepakat untuk bertemu di lobi apartemen Puri Indah; kediaman Sara dan ibunya, karena Carin dan suaminya sedang berlibur di Jakarta selama beberapa hari sebelum melanjutkan liburan di Bali bersama Sara.

Pun, hotel tempat Carin menginap selama di Jakarta hanya berjarak 2.5 km dari Puri Indah. Otomatis sebagai seorang kakak, sudah menjadi kewajibannya untuk menjemput Sara—terlebih ketika Sara tidak memiliki uang sebanyak dirinya yang sudah bergaji dua digit dari perusahaan internasional.

Sekarang merasa sedikit kesal, Sara teringat betapa tidak bisa diandalkannya Carin. Dulu, ketika dia masih tinggal satu atap dengan Sara dan ibunya, Carin adalah saudara perempuan yang sangat dingin. Sifatnya juga sangat tertutup hingga tak pernah berbagi cerita apapun dengan Sara, adik kandungnya sendiri.

Saat Carin masih duduk di bangku SMA, dia juga sering berkencan dengan banyak orang, bisa dibilang 2-3 pria dalam satu bulan. Dan Sara yang terpaut 6 tahun lebih muda hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh, layaknya orang asing di dalam keluarganya sendiri.

Tak hanya itu saja mengenai Carin. Dia juga dikenal sebagai orang yang menyukai perhatian dan pujian dari banyak orang, konsekuensinya Sara lah yang harus menderita selama bertahun-tahun karena Linda (ibunya) harus menghabiskan sebagian besar tenaga dan waktunya untuk Carin. Bagaimana tidak? Ketika Carin berkencan dengan beberapa pria yang jauh lebih tua dan kerap pulang terlambat setelah jam sekolah berakhir—otomatis membuat Linda mengalihkan fokus yang seharusnya diberikan kepada Sara—malah sepenuhnya diberikan kepada Carin yang gemar mencari masalah.

Namun tak bisa dipungkiri, Sara selalu mengidolakan sang kakak, karena kecerdasan dan pencapaiannya. Terbukti saja, Carin merupakan salah satu siswa Olimpiade semasa SMA yang lulus dengan nilai 10/10 di hampir semua mata pelajaran eksakta kecuali Fisika dan Matematika yang hanya mendapat nilai akhir 9/10.

Kini membandingkan dirinya dengan Carin, Sara merasa minder saat teringat bahwa dia memilih jurusan IPS semasa SMA, yang lulus dengan nilai 7/10 di Matematika. Sedangkan mendapat nilai 8/10 pada mata pelajaran Geografi dan Bahasa Indonesia, 10/10 pada mata pelajaran Sosiologi, Sejarah dan Bahasa Inggris.

Banyak yang mengatakan bahwa pencapaiannya mendapatkan nilai sempurna di tiga mata pelajaran itu adalah sesuatu yang patut dia banggakan, namun Sara bersikeras bahwa semua orang bisa menghafal. Tapi, tidak semua orang bisa menghitung besarnya tegangan total pada rangkaian arus bolak-balik atau menghitung peluang kejadian majemuk seperti Carin, kan?

Tidak berhenti sampai disitu saja, Sara kini membandingkan dirinya dengan Carin yang melanjutkan kuliah di jurusan Teknik Metalurgi Universitas Indonesia, sementara dirinya hanya melanjutkan di jurusan Sastra Inggris. Bagaikan dunia dan langit, bukan? Maka tidak heran jika Carin memiliki pekerjaan mapan di salah satu perusahaan perminyakan bonafide di Indonesia dengan gaji besar.

Lalu, bagaimana nasib Sara yang hanya melanjutkan studi di Fakultas Ilmu dan Kebudayaan dengan jurusan Sastra Inggris? Bagaimana dengan masa depannya? Apakah dia hanya akan bekerja sebagai administrator? Atau mungkin, seorang sekretaris? Itu saja sudah jauh lebih baik, daripada menjadi dosen yang hidupnya hanya itu-itu saja. Sara juga ingin memiliki karir yang bagus di perusahaan besar, gaji dua digit, dan kemampuan membeli barang-barang mahal seperti kakaknya.

Banyak yang mengatakan bahwa Sara harus lebih percaya diri, dan harus meningkatkan harga dirinya yang selalu saja rendah. Banyak juga yang mengatakan bahwa Carin memang jauh lebih pintar darinya, namun Sara memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kakak perempuannya: yaitu pedoman moral yang baik, lembut gaya bicaranya, dan paras yang jauh lebih menarik dari Carin si tukang onar.

Richard juga sering mengatakan hal seperti itu: bahwa Sara lah pemenangnya soal penampilan. Pasalnya, selain wajahnya yang cantik, postur tubuhnya juga bagus, serta kulitnya yang putih membuatnya terlihat seperti keturunan Kaukasoid. Jadi, tak heran jika terdapat banyak orang yang sering keheranan ketika Sara mengatakan bahwa dia merupakan orang Indonesia asli, dengan keturunan Jambi-Jakarta.

Pedoman moralnya yang baik juga membuat Sara enggan berkencan dengan pria yang jauh lebih tua hanya demi uang. MENJIJIKKAN! Dia jauh lebih baik dari Carin. Bagi Sara, seks adalah hal yang sangat sakral, dia hanya akan melakukannya dengan orang yang benar-benar dia cinta dan percayai. Berbeda halnya dengan Carin yang begitu mudahnya menghempaskan dirinya ke ranjang orang asing, hanya untuk satu-dua malam.

Terbukti saja, selama hampir sembilan belas tahun, Sara belum pernah berkencan dengan satu orang pun. Faktanya, dia belum mendapatkan ciuman pertamanya. Dan dirinya pun bersikeras bahwa dia akan tetap seperti itu sampai dia menemukan orang yang tepat, suatu hari nanti, di masa depan. Ketika dia sudah lulus kuliah, memiliki karir yang mapan, dan gaji yang mencukupi. Ketika dia sudah mandiri suatu hari nanti.

Tapi, bagaimana Sara bisa optimis dengan masa depannya ketika parameternya adalah Carin! Carin! Saudara kandungnya sendiri, yang sudah berhasil menaklukkan kehidupan?! Ah, lagi-lagi krisis kepercayaan diri! Betapa muaknya Sara dengan itu semua...

Kini getaran ponselnya menyadarkan Sara dari lamunannya. Siapa sangka gadis cantik itu sudah hampir sepuluh menit merenung, membandingkan dirinya dengan Carin hingga kepalanya sakit. Sara mengerti bahwa dia harus berhenti melakukan itu, karena pada akhirnya Sara-lah yang merugi. Dialah yang kehilangan kepercayaan diri, bukan Carin.

'Jangan biarkan seorang narsisis menguras energimu!' Sara berucap lantang pada dirinya sendiri.

Merogoh ponselnya yang saat itu berada di dalam tas selempangnya, Sara seketika bergumam kala melihat pesan yang baru saja dia terima dari Carin.

"This fucking clown is annoying me!! Can't pick you up. Go straight to the airport. Nanti uangnya aku ganti." Tulis Carin pukul 8 pagi.

"Ya Tuhan! Wanita macam apa yang mengumpat kepada suaminya sendiri!" Ucap Sara dalam hati, memahami betul sifat Carin yang mudah kehilangan kendali emosinya dan memaki-maki orang lain, termasuk suaminya sendiri. "Mau jadi apa liburan ku dengan orang itu di Bali..."

Berjanji pada dirinya sendiri bahwa Sara tidak akan membiarkan Carin memperlakukannya dengan semena-mena lagi, Sara kini menghela satu nafas panjang dan bangkit untuk melanjutkan harinya. Beruntung apartemennya berada tepat di pinggir jalan besar sehingga Sara tidak kesulitan mendapatkan taksi saat itu juga. Dan hanya dalam tiga puluh menit lagi, Sara akan tiba di bandara.

HappenstanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang