“Lo selama pacaran sama Shanaya pernah ngerasain insecure ga sih, Za?”
Pertanyaan itu masuk ke Indra pendengaran gue sewaktu kita– gue dan Hega– temen satu jurusan gue yang melihat eksistensi Shanaya, pacar gue yang lagi ngobrol sama temen-temennya.
Liat temen-temennya aja yang ada dimana-mana itu udah buat gue insecure level dua, apa lagi menyandang status sebagai pacar Shanaya Lazuardi si wajah universitas itu.
“Bukan pernah lagi, tapi sering.”
Dengan pembawaan Shanaya yang sederhana dan menyenangkan, membuat orang-orang yang di ajaknya mengobrol pasti langsung nyaman meskipun baru kenal. Sifatnya yang mudah berbaur itu bisa menggaet banyak orang dari setiap jurusan, dan ya, yang buat gue makin ngerasa kecil sewaktu tau yang naksir dia banyak yang lebih dari gue.
“Tapi lo keren bro, bisa dapetin dia walaupun tingkat insecurities lo udah masuk level seribu.”
“Gitu-gitu dia duluan yang naksir gue ya.”
“Iya dah, mau kagak percaya tapi si Aya juga pernah bilang gituan.”
Tawa gue mengudara dengan tatapan yang gak lepas dari si cantik yang lagi asyik mengobrol.
“Jangan pernah dilepas, inget yang naksir dia banyak.”
Hega dengan petuahnya menepuk-nepuk bahu gue, lalu beranjak pergi meninggalkan gue yang masih setia menunggu Shanaya selesai mengobrol. Gue paham sampai mana batasan gue buat melarang Shanaya untuk berteman sama siapa aja. Gue sama sekali gak punya hak untuk melarang lingkar pertemanan dia, gue hanya sesekali memperingatkan bahwa nggak semua orang bisa dijadikan teman. Hak gue sebagai pacar gak bakal sejauh itu buat membatasi hubungan sosial Shanaya.
Terkadang, ada satu kebanggaan yang kalo bisa gue tunjukan ke seluruh pelosok kampus maupun kota bangsa dan negara ini, bahwa Shanaya Lazuardi, si wajah universitas, idaman semua orang, si cantik yang mudah berteman— menghampiri gue duluan.
Hahaha.
Dari radius 20 meter gue bisa merasakan tatapan gak terima yang mereka tunjukkan sewaktu Shanaya berlari kecil ke arah gue sambil ukir senyum paling cantiknya itu.
“Nazaaaa, nunggu lama ya?”
Tatapan mata penuh binarnya, cuma ditunjukkan buat gue. Dan seharusnya gue gak perlu insecure gak jelas. Tatapan iri dari orang orang yang naksir Shanaya bahkan gosip gosip yang dibuat buat soal gue, harusnya buat gue semakin bangga bukan malah minder. Ibaratnya nih ya, lo Artis yang punya banyak haters, kalo kata bunda, artis yang haters nya banyak tuh tandanya udah terkenal.
“Enggak, ngobrolin apa tadi? Seru banget keliatannya.” Gue usak rambut lembutnya sebelum mengambil alih tumpukan buku yang dia bawa.
“Terimakasih sayang. Tadi aku diajakin sama mereka buat makan bareng terus pergi karaokean bareng. Tapi aku bilang udah ada janji sama kamu, jadi akhirnya aku biarin mereka pergi tanpa aku deh. Daripada rencana mereka gak jadi cuma gara-gara aku gak ikut, ya kan?”
“Gapapa kali kamu ikut mereka, kapan lagi kamu main sama temenmu.”
“Mana bisa gitu, janji pergi sama kamu udah dari lima hari yang lalu ya. Jadi aku punya alesan buat nolak ajakan mereka. Lagian kalo aku iyain mereka nanti kamu ngambek lagi.”
“Sejak kapan aku ambekan deh, biasanya juga kamu tuh.”
“Iya aku! Ngambeknya juga gara-gara kamu marah diem-diem itu. Nyebelin.”
Tawa gue mengudara lagi, sepanjang koridor menuju ke arah parkiran fakultas kedokteran. Gue cuma sibuk mendengarkan penuturan si cantik yang panjang lebar kali tinggi sama dengan bibir maju dikit itu, kalo aja tangan gue gak penuh sama buku-buku punya dia, udah gue rangkul pinggang kecil yang muat banget di pelukan gue, buat mendeklarasi bahwa Shanaya Lazuardi itu punya gue. Punya Nazareo Rajeevi seorang.
![](https://img.wattpad.com/cover/354534543-288-k116993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Only (we)
Hayran KurguSedikit cerita bagaimana dua insan Tuhan yang sedang merajut asa dengan cinta. Mengikuti alur semesta dan berbahagia bersama. "Naza, terimakasih." "Terimakasih kembali karena sudah lahir ke dunia, sha." Na Jaemin × OC © dairymacchiato