Berbeda dengan suasana gembira di sepanjang jalan yang Armin lewati dari pusat kota Bandung, kompleks perumahan tempat Armin dan keluarganya tinggal tampak lengang. Rumah-rumah ini mayoritas dihuni oleh warga Belanda, yang sepertinya tidak turut bersuka cita dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pagi ini.
Armin sedikit berbeda. Alangkah inginnya ia menjadi bagian dari hari bahagia ini, namun peristiwa ini bisa jadi ancaman baginya dan keluarga. Sebagai keluarga perwira Belanda, mereka sudah dibenci oleh para pribumi , dan sejak ayahnya dihukum mati sebagai pengkhianat negara, keluarga mereka tidak lagi aman di tanah asal.
Saat risau menyelimutinya, mata Armin melebar tatkala ia melihat ayahnya berdiri gagah mengenakan seragam perwira Belanda yang selalu ia banggakan di luar kediamannya. Wujud itu tampak sangat nyata. Apakah ayahnya tidak benar-benar meninggal dan akan menyelamatkan mereka?
Armin tak kuasa menahan laju kaki kecilnya. Tanpa sadar ia berlari sekencang mungkin untuk menghampiri ayahnya yang bergeming di tempat, tak menghiraukan seruan Armin yang memanggilnya berkali-kali.
Semakin banyak langkah yang Armin tempuh, sosok ayahnya semakin kabur. Ia pikir keburaman itu akibat dari air mata yang membanjiri netranya, tapi ketika ia sampai di depan rumah dan tak mendapati siapapun, Armin sadar kalau itu hanya imajinasi.
Tangis Armin pecah hingga ibunya keluar dari rumah dengan panik dan langsung memeluknya. Seorang lelaki paruh baya Indonesia berdiri di belakang ibu. Lelaki itu menatap tajam Armin dan seringai menghiasi wajahnya yang berkumis tebal. "Jadi ini, anak Erwin?" tanya lelaki itu dengan angkuh.
Ibu Armin segera berbalik, menyembunyikan Armin di balik punggungnya. Ibu berusaha berbicara dengan tegas namun Armin dapat mendengar suaranya bergetar, "kita sudah sepakat, Tuan. Tolong tepati ucapanmu."
Lelaki itu berdecak. "Jangan khawatir. Aku hanya senang melihatnya," seringainya bertambah lebar, "Erwin juga pasti senang jika masih bisa melihatnya sekarang."
Pria itu pergi meninggalkan kediaman Armin. Ibunya segera membawa Armin masuk ke rumah dan mendudukkannya di kursi ruang tamu. Si Mbok datang menyuguhi minuman dan membereskan sisa jamuan tadi.
Ibunya terdiam, ia tampak ragu, sedangkan rasa penasaran Armin tentang apa yang sebenarnya terjadi hampir tidak terbendung. "Armin kau tidak perlu takut. Orang itu, memberikan izin kita tinggal di sini, dan dia juga akan melindungi kita jika terjadi penyerangan," kata Ibunya seraya mengelus surai keemasan Armin.
"Namun setiap minggu, Ibu harus berkunjung ke Batavia. Istri pejabat Indonesia itu sedang hamil dan membutuhkan bidan. Tidak apa-apa 'kan?" Ibu Armin menatapnya penuh harap.
Ibunya memang bidan yang andal, tak heran seorang pejabat tinggi meminta pertolongannya. Armin mengangguk setuju. Dia tidak terbiasa jauh dari ibunya, namun ia harus terima.
Ibunya tersenyum hangat, lalu menyeka air mata yang tersisa di wajah Armin. "Nah, tadi kenapa kau menangis, sayang?"
Kali ini Armin yang terdiam. Ia bingung, haruskah ia menceritakan sosok ayah di depan rumah? Armin putuskan untuk menggeleng dan memeluk ibunya dengan erat, "aku tadi sangat takut kita akan diusir ke Belanda."
Ibunya tertawa, lalu membalas pelukan Armin sambil bersenandung. "Kita akan baik-baik saja, Nak."
Tibalah hari di mana ibu Armin harus pergi ke Batavia. Ibu bersikap tidak seperti biasanya. Beliau murung dan banyak melamun. Ibu menolak makan padahal nanti ia harus menempuh perjalanan jauh. Sepanjang hari ibu hanya duduk di bekas meja kerja ayah, memandangi foto, dan menyenandungkan kidung Rumeksa favorit ayah.
Ayah Armin sangat fasih menyanyikan kidung itu walaupun tidak bisa berbahasa Jawa. Ayahnya biasa bersenandung untuk Armin sebagai penghantar tidur. Sekarang kebiasaan itu dilanjutkan oleh ibu; bahkan tiap kali Armin meminta ibunya untuk bercerita tentang sang ayah semasa hidup, kidung itu selalu terlantun. Armin menganggap kidung itu sebagai peninggalan sang ayah yang paling melekat pada dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Rumeksa
Historical FictionProklamasi yang berkumandang pagi ini, memicu kucuran keringat di dahi Armin dan ibunya. Pasalnya, mereka akan bernasib seperti kelinci buruan jika kembali menginjakkan kaki di Belanda karena cap pengkhianat yang membubuhi wajah mereka, namun mereka...