6. Kontak Fisik

340 16 0
                                    

Luna bersama tiga sahabatnya, Cassie, Sierra, dan Lauryn, melangkah santai menuju ruang Desain Thinking.

Gadis berponi itu tampak tenang, tetapi batinnya berkecamuk. Perasaannya seperti ombak yang bergelombang: ada deg-degan yang mendera, rasa was-was yang menghantui, ketakutan yang membelenggu, dan rasa grogi yang menyusup perlahan. Namun, dalam segala kekacauan emosional itu, dia berusaha menjaga senyumnya agar tetap tampak seperti biasa.

Desain Thinking adalah lab milik jurusan DKV, disana tidak ada pintu yang membatasi akses ke dalamnya. Ruang ini terbuka, di mana siapa pun yang melewati koridor lantai tiga dapat melihat apa yang tengah terjadi di dalamnya.

Ruangan ini memiliki nuansa yang lebih mendekati kafe modern daripada sebuah lab. Meja-meja tersusun rapi, dikelilingi oleh kursi-kursi yang nyaman. Di dinding sebelah kiri, terdapat jendela-jendela besar yang terbuat dari kaca transparan. Dan disudutnya ada sebuah pintu untuk menuju ke balkon kecil.

Lauryn bersuara ketika menyadari Luna yang semakin melambat saat kaki mereka menapaki anak tangga yang akan segera menghubungkan ke Desain Thinking. “Ayo, Lun. Ngapain berhenti, nanggung ini bentar lagi sampe.”

“Sst, Lauryn! Kecilin suara lo, nanti mereka denger,” bisik Luna dengan sangat hati-hati, sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat untuk diam.

“Lo lama banget, Luna, asli deh.” Tanpa menyisakan waktu untuk basa-basi, Cassie—yang memang sudah akrab dengan geng Bara itu—segera mendekati Luna dan menggeret tangannya, memaksa temannya itu untuk terus melanjutkan menaiki anak tangga, hingga akhirnya mencapai lantai Desain Thinking.

“Derry pacarnya Cassie!” Teriakan riang dari Cassie membuat keempat pria yang sedang duduk santai, seketika menoleh.

“Hai Cassie-nya Derry.”

Tanpa sepatah kata pun, gadis itu kembali menggeret Luna, menuntunnya dengan langkah-langkah cepat menuju meja tempat Derry duduk, diikuti Sierra dan Lauryn. Dalam hati, Luna merasa lega karena tak menemukan Bara berada di sana.

Cassie langsung memeluk Derry. “Sayang, Bara dimana? Luna mau bicara empat mata, nih,” ucapnya sambil cekikikan sendiri.

Pertanyaan Cassie membuat Derry memutar pandangannya ke arah Luna.

Lelaki itu tersenyum menggoda pada Luna, lalu segera merespons. “Serius banget kayaknya. Jangan diseriusin, Lun, ntar Bara kesenangan.”

“Langsung ketiban durian runtuh, ya, kan?” Rion tertawa sambil memberikan Derry sebuah geplakan di bahu.

“Jangan durian dong, Bro! Melon aja enak.” Franco juga ikut bersuara. Tatapannya mengisyaratkan sesuatu yang hanya dapat dimengerti oleh para teman-temannya.

“Sialan pikiran lo gelap banget.” Rion merespons dengan nada jenaka, tak lupa juga menampol kepala Franco.

Luna menggelengkan kepala dengan sedikit rasa malas yang cukup tampak dalam matanya. Gadis itu menarik napas dalam dan perlahan seolah mencoba meredakan kecemasan yang ada dalam dirinya. Kemudian, wajah cantiknya tiba-tiba mekar, tersenyum dengan sangat lebar.

“Jadi, Bara dimana?”

“Di mana hayo?” Derry kembali menggoda Luna dengan wajah usil.

“Derry, lo jangan macem-macem sama gue deh! Mau rahasia lo gue bongkar, hah?!” gerutu Luna, kalimat marah itu diucapkannya dengan cepat dan ekspresif, membuat bibirnya bergerak cepat, yang terlihat sangat lucu.

“Lah, rahasia lo juga gue bongkar, mau?” godanya terdengar meledek, sembari memeletkan lidahnya, yang mampu membuat Luna kesal.

Cassie yang melihat itu, hanya bisa menahan gelak tawanya, takut Luna akan bertambah kesal jika ia tertawa. Dia tau rahasia apa yang dimaksud oleh gadis berponi itu.

Two Loves, One LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang