Ketiga pria muda itu duduk terikat di depan puluhan lilin yang berjajar membentuk sebuah pola. Pria berbaju hitam dengan tampang sangar menatap satu persatu wajah para pria yang di culik itu.
"Bukan! Bukan mereka yang saya cari! Kenapa kalian menculik orang yang salah!"
Dua orang yang ada di belakang mereka seketika menunduk takut.
"Hanya mereka yang terlahir mendekati bulan Suro, di desa, sebenarnya siapa yang Kang Mas cari?"
"Dia, keturunan dukun terakhir, yang darahnya tergadai dengan Pengikut Asura."
****
Tiga remaja itu duduk sambil memegang alat musik tradisional milik sanggar. Naya memegang angklung, Durga membersihkan gong, dan Yanuar memegang wayangnya yang baru saja ia beli Bersama Abah Cakra kemarin.
Sebenarnya, Yanuar tidak tertarik dengan pembahasan tentang penculikan semalam, ia lebih tertarik mencari uang, sambil bermain seni. Berbicara tentang seni, Yanuar memandang beberapa lakon wayang kulit miliknya. Minggu lalu, ada kejadian aneh saat ia mengarahkan wayang-wayang tersebut pada Durga tanpa diketahui pria itu. Siapa sangka, yang awalnya hanya bercanda, Yanuar jadi ketakutan sendiri. Sebab, Durga yang saat itu sedang tidur, malah bergerak sesuai arah wayang yang digerakkan oleh Yanuar.
Yanuar tidak berniat mencari tahu apa itu sebuah kebetulan atau memang ada unsur magis dari wayang-wayang miliknya itu, tapi karena takut berdampak buruk, Yanuar lebih memilih untuk membeli wayang yag baru.
"Menurut kalian, wayang ini keren tidak?" Yanuar mengangkat agak tinggi wayang di tanggannya.
"Itu peran apa, Kang?" Naya mulai tertarik dengan wayang baru Yanuar.
Durga melirik sebentar, "Itu wayang yang biasa menggambarkan Butha. Kamu ingin coba membawakan kisah pandawa?"
Yanuar menggeleng, "Abah bilang, wayang ini akan melengkapi koleksiku. Aku juga ingin beli gunungan."
Naya berpikir sejenak, "Kenapa harus beli, di sanggar kan ada, Kang?"
Di sanggar memang ada, lengkap. Tapi itu milik sanggar. Bukan miliknya, Yanuar akan membawa wayang-wayang itu berkeliling negeri dan sekaligus menjadi media uji cobanya tentang kebetulan kemarin.
"Yanuar kan dalang, dia pasti ingin mengoleksi beberapa wayang untuk dirinya sendiri." elak Durga.
"Tapi kan Mas Yanuar mendalang untuk sanggar kita, selama masih untuk sanggar, fasilitas sanggar bisa digunakan!" Naya memprotes.
Sementara kedua temannya berdebat, Yanuar memperhatikan sebuah lukisan yang selalu ditutup dengan kain putih. Sejak lama Yanuar ingin tau, lukisan apa itu. Tapi saat ia berrtanya pada Abah Cakra ataupun para sepuh lain, jawabannya tetap sama. "Itu hanya lukisan pohon, Yanuar, ditutup karena memang kurang pas berada di sini, abah sudah berpikir untuk memindahannya, tapi belum menemukan tempat yang cocok." Menyadari Yanuar hanya diam saja, Durgapun bertanya padanya.
"Kenapa, tumben mode senyap?"
Yanuar meletakan wayangnya, lalu menunjuk lukisan yang tertutup itu.
"Kapan ya lukisan itu dipindah, dari aku ada di sini lukisan itu di situ terus, tapi tidak pernah dibuka."
Durga dan Naya seketika menatap lukisan itu, Durga berdiri dari posisinya, meletakkan kain yang ia gunakan untuk membersihkan gong itu asal. "Kamu penasaran? Sama aku juga. Ayo kita lihat, lukisan apa itu?"
Saat Durga melangkah, Naya menarik tangan pria itu sambil menggeleng. "Abah bilang itu hanya lukisan pohon."
"Pohon apa? Beringin? Sudah, lepas. Kita harus membuktikan sendiri itu lukisan apa, barangkali kita bisa mencari solusi agar ditempatkan di mana kan, daripada di sini tapi ditutup?"
Durga melangkah mendekat, pria itu meneliti bentuk bingkai lukisan yang yang cukup besar. Sangat disayangkan jika harus ditutup dengan waktu yang lama. Sebelum menarik kain Panjang itu, Durga menatap Yanuar dan Naya.
"Kalian siap?"
Tiga detik kemudian, Durga menarik kain itu cukup kencang hingga lukisan itu oleng dan hampir saja meniban tubuh Durga. Bersyukur, Yanuar datang tepat waktu.
"Pelan-pelan toh, Mas?" Yanuar tertawa melihat wajah panik Durga. Kalau jatuh, kemungkinan bingkai lukisan itu patah atau bahkan kertasnya robek karena tubuh kekar Durga yang pasti akan berusaha menahan dan melakukan perlawanan.
Yanuar dibantu Durga mengembalikan letak lukisan itu ke semula, keduanya kompak mundur beberapa langkah untuk melihat keseluruhan lukisan tersebut. Ternyata bukan cuma pohon, tetapi di sana terlihat lukisan seorang pria yang bermain wayang transparan sambil menghayati.
"Wah, karya siapa ini?" Durga melongo, lukisan itu benar benar indah, sangat cocok jika diletakkan di sini. Lantas, kenapa ditutup?
Yanuar menatapnya sambil berkaca-kaca, ia pernah melihat itu. Rasanya seperti dejavu. "Itu Aku."
Tanpa berkata apapun, Yanuar berbalik, meraih kotak wayangnya dan pergi begitu saja.
****
Dua Bulan lalu, alam mimpi.
"Entah apa yang aku lupakan?"
"Kenapa setiap kali aku membuka mata, hanya ada sesuatu yang semu, aku tidak bisa merasakan rasanya bahagia menjalani hidup, apa aku kurang bersyukur?"
"Bagaimana caranya bersyukur, Gusti?"
Yanuar melangkah tak tentu arah, kepalanya begitu riuh. Menyalahkan, membandingkan, dan putus asa. Yanuar berhenti, di sebuah pohon rimbun lalu mengangkat kedua tangannya yang terlihat bergetar. Kepulan asap keluar secara magis meliputi kedua tangannya.
"Pembunuh! Kau adalah monster! Kau monster!" suara itu terus terdengar membuat Yanuar muak, ia berteriak sekuat tenaga sambil menangis.
"Pembunuh!" kata itu kembali terdengar dan saat Yanuar memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi, kondisi sekitarnya berubah. Banyak makhluk hitam besar yang memporak porandakan desa, darah di mana-mana membuat bau anyir begitu kental tercium.
Dada Yanuar terasa sesak sekali, saat ia menunduk, ia melihat tangannya menggendong sesuatu. Seorang gadis yang terluka parah dan tak sadarkan diri!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Negeri Manunggal Spin-Off: Pendekar Bayangan
General FictionSeharusnya, malam itu Yanuar mengikuti kata Naya untuk tidak pergi dari sanggar. Ia masih sangat begitu pengecut untuk menghadapi dunia luar yang sangat menyeramkan. Tapi, jika ia tidak pergi, ia tidak akan tau apa yang terjadi pada dirinya di masa...