Prolog

4.8K 241 12
                                    

Jika ditanya: apakah aku mau berada di situasi seperti saat ini?

Tentu aku akan menjawab: Tidak sama sekali!

Lalu jika ditanya lagi: Lantas kenapa aku bisa terjebak di situasi ini?

Maka aku hanya akan diam.

Tidak. Bukannya aku tidak memiliki jawaban. Aku hanya malu mengakuinya. Semua masalah yang kualami adalah konsekuensi dari bola salju yang kugelindingkan. Siapa yang akan tahu jika bola itu akan membesar dan berakhir menghantam perumahan di bawahnya? Tidak. Kurasa semua orang akan tahu. Dengan sedikit waktu berpikir kurasa semua orang waras pasti tahu. Ini semua memang salahku karena hidup terlalu santai.

Aku menghela napas. Bu Melodi terus mencerocos memarahiku. Bunda yang duduk di sebelah kiriku hanya bisa mengangguk sambil sesekali meminta maaf. Kasihan sekali.

Tiba-tiba sebuah tangan halus menggenggam tanganku erat. Gadis di sebelah kananku mulai membuka suara. Membelaku.

Aku menegak ludah. Fiony, aku senang kita mulai dekat. Namun, lihat situasinya. Jangan sekarang.

Aku melirik melewati bahuku. Melihat ke arah tiga gadis yang duduk berjejer menatap padaku. Atau lebih spesifiknya, ke tanganku yang digenggam Fiony.

Gadis yang paling kecil bersidekap dengan wajah merah padam. Sedangkan gadis di sebelahnya, yang sedikit lebih tinggi, hanya duduk tegap dengan ekspresi sulit dijelaskan. Lalu di sebelahnya lagi, yang paling tinggi di antara mereka bertiga, hanya mampu menampilkan senyum kecut. Melihat mereka saat ini mengingatkanku pada icon bar sinyal yang ada di smartphone. Aku tersenyum masam ketika memikirkannya.

Ketiga gadis itu duduk di dekat pintu ruang kepala sekolah yang agak terbuka. Ada dua sosok lain yang mengintip di balik pintu itu, mereka berdua sekuat tenaga menahan kekehan agar tidak keluar dari mulut masing-masing. Sial. Sudah lama aku tidak melihat senyum-senyum jahil itu.

Aku melemparkan pandangan ke sebelah kiriku. Melewati Bunda. Terlihat gadis lain yang duduk diapit dua orang wanita. Wajahnya berantakan. Seberantakan wajahku sekarang. Tangannya memijat lembut tengkuk lehernya. Sepertinya sakit. Maaf. Wanita di sebelah kirinya menatapku tajam, sedangkan wanita di sebelah kanannya menatap Bunda dengan kerinduan terlukis jelas di kedua bola matanya.

Aku mengalihkan pandangan kembali. Sebenarnya ada dua gadis lagi di ruangan ini yang menaruh fokus penuh padaku. Yang satu dengan ekspresi kosong khasnya. Berdiri tepat di belakang kakaknya yang duduk diapit oleh ibu dan mamanya. Aku tidak menggubris gadis itu, sudah biasa, dia memang aneh. Jangan salah paham, aku tidak membencinya atau apa. Aku hanya sudah terbiasa dengannya.

Lalu yang satu lagi, gadis dengan rambut basah, duduk berseberangan dengan 3 gadis pertama, menatapku dengan wajah shock yang masih sama seperti saat kejadian di kantin tadi.

Aku menghembuskan napas berat. Menatap langit-langit kantor kepala sekolah.

"Seharusnya aku tidak menggunakan Ajaran Sesat Ayah," lirihku pelan.

Bunda di sebelahku tersenyum kecil mendengarnya.

Freyana VS EverybodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang