Lintang masuk begitu saja ke dalam rumah Aksa yang tidak dikunci karena cowok itu juga baru saja pulang dari rumah sakit. Tepatnya untuk kembali menemui psikiater meminta resep obat yang hampir habis. Baru juga akan menyandarkan punggung di sofa ruang tamu, suara Lintang berhasil mengalihkan atensinya.
Dahi Aksa mengernyit kala menyaksikan penampilan Lintang yang begitu menyedihkan. Pakaian kusut, rambut berantakan, serta mata bengkak. Cowok itu kentara kalau baru saja menangis.
"Lintang, kenapa?" Aksa bangkit dan menghampiri Lintang. Bukannya menjawab, Lintang malah menutup wajahnya lalu terisak pilu, sangat pilu hingga membuat Aksa mundur beberapa langkah.
"Saya tidak apa-apakan kamu," jawab Aksa dengan nada serta tatapan yang polos.
Lintang melerai tangannya dari muka, menatap Aksa sendu. "A-anak ... gue ..."
"Zero?" terka Aksa. Lintang mengangguk dua kali.
"Kenapa?"
"Dijual Bokap gue ..."
Aksa menunjukan ekspresi nanap. "Kok bisa?"
"Gue nggak tau, tapi pas balik sekolah Bokap bilang motornya dijual." Lintang menghalau air matanya meski sia-sia, ya karena cowok itu kembali menangis dengan suara samar-samar.
Aksa lantas mengusap bahu cowok itu pelan, niatnya ingin membuat tangisan Lintang reda, tapi bukannya reda malah semakin menjadi-jadi. Ia sangat menyayangi anaknya itu, tapi ayahnya malah menjual cucunya sendiri hanya karena Lintang balapan motor kemarin malam.
"Memang salah kamu apa, sampai bisa dijual?"
"Gue i-ikut balapan,"
Pintu yang baru tertutup karena tertiup angin malam itu terbuka kembali lantaran dibanting seseorang. Jevaro Bumantara, cowok itu berjalan santai memasuki rumah, lalu tanpa meminta persetujuan kepada pemilik langsung menjatuhkan bokong di sofa. Varo memang tidak sopan, ya itu karena orangtua Aksa tidak di rumah, tentu ia tahu. Coba kalau ada, mungkin ia akan cosplay jadi anak santri baru pulang pondok.
"Duh, enaknya suasana nih rumah, nggak kayak rumah gue, kalo nggak mendung ya gledek." Varo mengangkat kedua kakinya ke atas meja, pandangannya berkelana ke penjuru rumah sebelum jatuh ke dua orang di depan sana. "Eh, ada orang ternyata. Ngapain di sini?"
"Ini rumah saya." Jawab Aksa datar.
Varo tertawa. "Duh, maaf ya gue kira kalian ini main asal masuk rumah orang, btw ini rumah bagus ya gue beli deh. Maklum, orang kaya."
Mendengar itu Lintang lagi-lagi menangis, cowok itu tampan, hanya kalau menangis lebih mirip anak kecil yang tidak dibelikan orangtua-nya mainan.
"Lah, perasaan lo dimari terus, kagak punya rumah ya?"
"Varo,"
Varo terkikik mendengar suara Aksa yang memanggilnya dengan nada marah. Cowok itu lantas bangkit dan melihat wajah Lintang.
"Napa dia, kok nangis?" bisiknya pada Aksa.
"Nangis karena Zero,"
"Siapa?"
"Anaknya."
"HAH?!" Mungkin kalau bisa, Varo sudah terjun dari gedung pencakar langit saat itu juga. Sayangnya ia takut, mati nanti. Ia melongo tak menyangka seseorang yang ia pikir hidupnya gelap seperti tak punya masa depan kini Aksa memberikan informasi bahwa Lintang sudah punya anak. Kapan cowok itu menikah?
"Zero? Lo udah punya anak? Jahat lo nggak ngundang gue, atau jangan-jangan lo ngehamilin anak orang, Tang? Parah sih lo!"
"Zero itu motor bukan orang." Jawab Aksa mencoba mewakili karena yang diajak bicara masih terus menangis drama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | End
JugendliteraturIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...