01. Meja Bundar

31 1 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

• • ✧ • •

Kota Baru, Yogyakarta, 2050

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kota Baru, Yogyakarta, 2050

Adu domba, tiada habisnya. Kesengsaraan, tiada ujungnya. Penjajahan, seakan kembali hadir secara tak kasat mata. Segalanya masih direnggut paksa dari para kaum marhaen, tak kenal bulu, apalagi kasihan. Mereka; para lokawigna selalu haus akan kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah ruah, tak pernah lupa akan ketamakan dan hasrat.

Tahta sudah mereka miliki, harta sudah mereka dapatkan, keinginan selalu dinomor satukan, lalu apa yang belum mereka dapatkan?

Seakan ambisi tidak pernah tunduk, orang-orang luar masih saja berusaha merenggut apa yang sudah dimiliki dan dicapai oleh Indonesia. Khususnya kota pelajar ini--tempat bersemayamnya para generasi muda menimba ilmu, memperdalam keahlian, meningkatkan kemampuan, jua menanamkan jiwa penerus yang unggul.

Banyaknya bangunan universitas yang berdiri kokoh di kota pelajar membuat Yogyakarta kini menjadi rumah bagi kecanggihan teknologi setelah Kota Jakarta--demi andil menjadi bagian negara maju, mendirikan sebuah laboratorium besar, pun mengingat Kota Yogyakarta sempat menjadi ibu kota Indonesia.

Lalu kini, 5 profesor muda dari 5 universitas yang berbeda tengah berkumpul di sebuah cafe yang letaknya berada di paling timur gedung pusat penelitian ilmuwan Yogyakarta untuk sekadar membahas masalah yang tengah panas diperbincangkan.

“Mereka ....” Pria berperawakan tinggi dengan manik hitam, alis tebal, tatapan tajam penuh arti, dan hidung mancung bernama Kenzo Jauhar Basil memulai pembicaraan, menyempatkan diri untuk meneguk segelas kopi hangat sebelum melanjutkan ucapannya. “... masih saja kembali berulah di kota kita,” lanjutnya seraya menaruh kembali cangkir pada tempatnya.

Empat pasang mata memerhatikan dirinya dengan mimik wajah yang berbeda-beda. Salah satunya mulai memiliki niat untuk membuka suara, menyandarkan daksanya pada badan kursi besi, lalu menyatukan kedua tangannya di depan perut sebelum kalimat terlontar dari mulutnya.

“Sebenarnya apa yang mereka incar dari kita? Apa mereka tidak lelah mengganggu kita terus-menerus?”

Tidak langsung mendapat jawaban, melainkan mimik berpikir dari 4 kawannya. Dua di antaranya terlihat menunduk sambil mengetuk-ngetuk jari-jemari mereka di atas tangan kursi, berusaha merangkai dan mengingat sesuatu.

“Aku dengar ... mereka mengincar penemuan baru kita. Mungkin itu yang menjadi alasan mereka masih mengusik ketenangan kota ini.”

Salah satu pria yang menunduk--Harzan Kalandra Syafid, seorang pria keturunan dua negara yang memiliki wajah dan usia paling muda di antara mereka mengangkat pandangan, menatap keempat kawannya secara bergantian sembari memasang posisi duduk yang sama seperti pria di sampingnya, serta memainkan jari-jemari tangan kirinya di atas tangan kursi.

VOC Yogyakarta, 2050 [II]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang