⚠️ PERHATIAN ️⚠️
Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, tempat, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.
Jangan lupa untuk follow akun penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!
• • ✧ • •
Kenzo, Valdi, Aksa, Harzan, juga terkhususnya Melviano menyatukan kedua tangan mereka di depan perut sembari menunduk, tak berani untuk menatap, apalagi mengeluarkan suara di tengah-tengah tatapan penuh analitik dari mandalika.
Kelimanya terlihat gugup, untuk sekadar menarik napas pun rasanya sangat berat. Seperti tengah diinterogasi dengan cara yang laknat.
Tuan Adhinata menegakkan posisinya, kemudian menghela napas sembari terus menatap intens kelima pria di hadapannya itu. “Kalian tahu, bukan, apa akibat dari melanggar aturan yang ada?”
Semuanya mengangguk samar, tanpa mengangkat pandangan mereka.
Tuan Adhinata lalu menyandarkan daksanya, menaruh kedua tangan di atas tangan kursi. “Saya bisa saja mengeluarkan kalian dari sini, dan mencopot izin kalian sebagai seorang profesor muda! Bahkan kalian bisa saya laporkan, terancam pasal 338 KUHP dan pasal-pasal sejenisnya!”
Nada suara Tuan Adhinata terdengar semakin tinggi seiring panjangnya kalimat yang dirinya sampaikan. Raut wajahnya yang memerah menunjukkan betapa marahnya beliau kepada kelima profesor muda yang begitu ia sanjung dan percayai, terkhususnya Melviano. Ia tidak pernah menduga dan menyuruh mereka mengambil jalan pintas yang gegabah.
Sedangkan isi dari Pasal 338 KUHP sendiri ialah berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”
Kini, lihat!
Prinsip yang sudah dipertahankan sedemikian rupa oleh banyaknya anggota dari tahun ke tahun kian sedikit tersenggol zona kuning saat ada satu pasien kehilangan sukmanya di tangan salah satu anggota organisasi--bukan karena faktor alam ataupun takdir, melainkan kesengajaan yang bisa menjerumuskan, membahayakan nama baik organisasi dan masa depan para penghuninya.
Melviano yang merasa menjadi dalang atas kejadian ini memberanikan diri untuk sedikit mengangkat pandangannya, arkian mengeluarkan suara.
“Nyuwun pangapunten, Tuan. Ini sepenuhnya salah saya. Jadi ... alangkah baiknya jika saya saja yang mendapat ganjaran atas apa yang telah saya perbuat. Tidak dengan keempat partner saya. Mereka sama sekali tidak bersalah. Tolong izinkan saya untuk menanggungnya sendiri.”
Kenzo, Aksa, Harzan, dan Valdi sontak menoleh ke arah Melviano secara serentak, menatap pria berwajah tegas itu dengan alis yang mengerut.
Rasa kesal dan marah memang ada, tetapi hal itu tidak memungkiri bahwa mereka melupakan sikap solidaritas dan kekompakan tim. Masih ada sebersit rasa tidak tega, juga keinginan untuk tetap bersama di benak para profesor muda tersebut. Mereka ingin tetap menjalani konsekuensi yang telah ditetapkan, tanpa ada satu pun yang menghindar.
KAMU SEDANG MEMBACA
VOC Yogyakarta, 2050 [II]
Action[Jangan lupa vote dan komen, serta follow akun penulis sebelum membaca! Cerita ini hanyalah fiktif. Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca!] VOC : Visus Orang-orang Cerdas, Validitas Orang-orang Cakap, dan Valorisasi Orang-orang Cendekia. Genre : A...