4. AKSELERASI

29 18 2
                                    

"Eh tadi si Can masuk kelasmu juga kan?"

Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh sambil mengunyah nasi goreng di dalam mulutku.
"Iya."

Yigit menyunggingkan seulas senyum masam sambil mengiris telur di dalam bekalnya.
"Kok orang kayak gitu masih aja dikasih panggung sama sekolah ini?"

Aku mengernyit dan berusaha berpikir kritis.
"Kan dia cuma di depan kelas Git, enggak naik panggung."

Yigit menghela nafas panjang.
"Maksudnya, kok dia masih aja si dikasih kesempatan kampanye enggak jelas begitu."

"Ohh, memangnya kenapa?"

Yigit menyendokkan nasi ke dalam mulutnya, mengunyah pelan lalu mendorong nasinya dengan air.
"Dia sebenarnya enggak sepintar itu tahu," Yigit meletakkan bekalnya dan mulai menggerakkan kedua tangannya ketika bicara. "Pidato yang dia ucapkan kadang aneh dan enggak memiliki kesinambungan. Tiba-tiba bahas sel tubuh, loncat ke kematian kayak ceramah agama, terus terbang ke limbah plastik."

"Gitu ya."

"Kalo bukan karna anak Radindra, siapa yang mau mendengar kata-kata sampahnya itu?!"

Aku merasa bingung ingin berkomentar seperti apa, jika mengingat kebaikannya semalam, rasanya Can bukanlah orang jahat seperti yang sering Yigit ceritakan. Lagi pula dari sekian banyak orang yang menyukai dan menyanjungnya, hanya Yigit yang berani mengkritiknya.

Cit menggaruk pipinya.
"Tapi orang-orang kok kayak serius banget si kalo dia lagi ngomong?"

"Orang-orang pasti juga banyak yang mengkritisi isi pidatonya di belakang, cuma siapa yang berani ganggu anak emas SMA Garuda?"

"Oh gitu."

"Kamu udah dengar sendiri kan? Dia sama caleg enggak ada bedanya. Ngomong geremang-geremang kayak lalat, mengandalkan popularitas orang tua agar bisa dihargai tanpa bersusah payah."

Aku mengaduk nasi goreng lalu makan dengan pikiran yang melayang jauh. Sepertinya kebencian Yigit pada Can telah membabi buta.
"Aku dengar, tapi memang aku susah memahami hal-hal seperti itu, karena wawasanku yang dangkal."

Yigit menyenggol bahuku dengan bahunya.
"Bukan salah kamu, tapi emang dia yang ngomongnya kurang jelas."

Aku menatap mata Yigit penuh selidik.
"Kamu benci banget sama dia ya?"
Yigit mengernyitkan keningnya sambil membuang wajahnya menatap langit.
"Enggak benci si, cuma malas aja dipaksa nonton bibit koruptor lagi latihan membual."

Aku sebenarnya ingin menceritakan pertemuanku dengan Can, tapi sepertinya Yigit tidak akan senang mendengarnya, jadi lebih baik kusimpan sendiri keberuntunganku semalam. Aku pun menghabiskan nasi goreng lezat itu tanpa bertanya apapun lagi. Aku mengalihkan pikiranku pada telur setengah matang yang kumakan pelan-pelan. Mungkin itulah asal muasal ketelitian dan kepedulian Yigit. Hanya dengan melihat bekas piring kotor, mamanya bisa begitu tepat memprediksi jika aku mencintai telur setengah matang yang lezat dan lumer.

Setelah perut terisi, hembusan angin yang menggugurkan dedaunan juga meniup kelopak mata kami. Yigit langsung saja merebahkan punggungnya, menjadikan kedua lengannya sebagai bantal di bawah kepala, menatap cahaya matahari yang berkilauan di antara ranting dan dedaunan pohon.

"Cit."

"Hmm?"

"Aku ditawarin akselerasi."

Aku sedikit tersentak, mataku berkedip dan melirik ke sekitar. Yigit memang pintar, selalu rangking satu dan tak pelit ilmu. Wajar saja jika guru memberikan tawaran seperti itu untuknya. Beruntung sekali Yigit punya otak seencer itu dari lahir. Ibunya pasti rajin memberinya nutrisi dan merawatnya agar menjadi anak yang cerdas, belum lagi warisan kecerdasan genetik keluarganya yang mayoritas menjadi dokter.

PETERCANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang