Prolog

121 10 0
                                    

"Mau ke mana mas?"

Suara Rayya yang menuntut jawaban tak secuil pun mampu membuat Ardhi, pria yang baru tadi pagi resmi menjadi suaminya itu menoleh padanya.

Begitu keluar dari kamar mandi hotel, ia tampak sudah melucuti semua pakaian pengantinnya. Berganti dengan celana Chinos warna cream dan kemeja hitam yang tampak begitu serasi di tubuhnya. Ia berjalan tanpa suara, dingin. Diseretnya koper di sudut ruangan, koper yang mereka bawa untuk bekal honeymoon. Ya, honeymoon yang melenceng jauh dari ekspektasi. Pria dingin itu masih diam di tengah kegiatannya membenahi pakaiannya, membuat dada Rayya sesak, bingung dengan apa yang sedang terjadi. Sejak Arman, ayah Ardhi mengenalkannya pada pria berusia tiga puluh tahun itu, Ardhi memang terkesan dingin dan tak tersentuh.

Pria itu masih diam, seolah di ruangan ini tak ada orang lain selain dirinya. Merasa diabaikan, Rayya bangkit lalu menghampirinya. Jemarinya meraih lengan pria yang tengah mengenakan sepatu seraya duduk di kursi tak jauh dari ranjang tidur.

"Mas?", lirihnya. Rayya terlonjak saat Ardhi menyentak tangannya lalu bangkit dan menatap tajam dirinya.

"Jangan sentuh aku! Kamu tahu, ini adalah pernikahan terpaksa. Aku terpaksa karena menuruti perintah papa, dan aku yakin kamu juga kan? Kamu nggak tega menolak permintaan konyol papa ini hanya demi balas budi? Jadi, jangan pernah mengharapkan pernikahan ini akan berjalan normal."

Tubuh gadis yang masih terbalut gaun pengantin itu bergetar. Ia tak menyangka bahwa malam pertama pernikahannya akan seperti ini.

"Tapi mas mau ke mana?" Digigitnya bibir, menahan beberapa bulir air mata yang siap mengalir.

Ardhi meraih handle koper, siap keluar dari kamar hotel namun sebelumnya ia kembali menatap benci pada gadis cantik yang tertutup cadar putih senada dengan gaun yang melekat di tubuhnya.

"Aku akan tinggal di apartemenku, dan kamu besok kembali ke rumah hadiah dari papa. Aku akan sibuk dengan urusanku, dan kamu bebas melakukan apa pun yang kau mau. Jangan pernah campuri urusanku. Mengerti?"

Rayya tak bergeming, ia begitu shock dengan apa yang di dengarnya.

"Satu lagi, jangan katakan apapun sama papa."

Setelahnya ia benar-benar pergi meninggalkan sang pengantin wanita yang masih mematung. Tatapannya kosong, sekosong hatinya sekarang. Dadanya berasa ditusuk ujung tombak yang runcing, menancap dalam hingga rasanya sulit ia cabut. Tubuhnya mulai goyah, raganya lunglai, tangannya mencoba menggapai apapun agar tak limbung. Kini ia terduduk, terhempas di atas ranjang tidur yang memerah penuh dengan keping kelopak bunga mawar. Replika dua ekor angsa dari handuk yang bersemayam di tengahnya tak lagi memberikan kesan romantis di matanya.

Wanita itu meraba kain penutup kasur yang didudukinya dengan mata yang kini mulai sembab. Menatap hamparan tempat tidur yang tak lagi menjanjikan kehangatan. Malam pertama yang harusnya ia reguk bagai surga dunia kini berubah menjadi malam dingin yang membekukan. Dalam diam air matanya terus mengalir.

Ya Allah, apa ini adalah ujian yang harus hamba hadapi?

Ia tak pernah menyangka jika ternyata Ardhi menolak keras pernikahan ini. Rayya pikir, selama ini sikap acuh yang ditunjukkan Ardhi hanya karena pria itu belum lama mengenal dan terbiasa dengannya. Karena sejak awal, tak ada bantahan sedikitpun tentang rencana pernikahan antara ia dan putra sahabat ayahnya itu. Namun ternyata, semua itu ia lakukan hanya untuk menghormati perintah orang tuanya.

Memang, cinta belum tumbuh di hatinya karena perkenalan yang begitu cepat. Namun ditinggalkan di malam pertama pernikahan benar-benar telah menorehkan luka yang begitu perih di dadanya.

***

Seteguh Tsurayya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang