15 - Tak Pantas Diperjuangkan

127 12 9
                                    

Aku dan Tiwi sedang berada di kedai ramen malam ini. Selepas magrib tadi Tiwi mengajakku pergi ke sana. Sebenarnya aku tak mungkin bisa keluar malam. Tapi berhubung Tiwi yang langsung izin pada Ibu, akhirnya aku menyetujui ajakannya. Dengan dalih akan mengerjakan tugas, makanya Ibu mengizinkan aku keluar.

Mumpung sedang di luar rumah, aku bisa leluasa mengerjakan tugas tanpa ada drama mengantuk. Sebelum makan aku memilih untuk mengerjakan tugas terlebih dahulu dengan ditemani minuman dingin da cemilan. Tiwi juga melakukan hal yang sama. Kami sibuk dengan tugas masing-masing sebelum memesan makanan.

Cukup lama kami berkutat, aku yang berhenti duluan karena perutku sudah keroncongan. Setelah mematikan laptop, aku memanggil pelayan dan segera memesan. Tiwi juga ikut memesan karena dia juga sudah lapar.

"Itu aja pesanannya, Mbak," pangkas Tiwi.

"Baik, Kak. Mohon ditunggu." Pelayan tersebut pergi meninggalkan tempat duduk kami.

"Wi, kamu pernah gak sih kesel sama murid?" Aku membuka percakapan.

"Kalau kesel mah ya pasti selalu ada. Namanya juga siswa kan karakternya beda-beda," jawab Tiwi santai.

"Makin ke sini, aku makin males jadi guru. Ribet banget tau. Bukan hanya diri sendiri yang dipikirkan. Terus harus jaga mood di depan siswa. Aku gak bisa ngelakuin semua itu, Wi. Kalau masalah pura-pura kuat, pura-pura baik-baik aja itu udah biasa. Tapi kalau lama-lama ditahan kan sakit juga," kataku panjang lebar.

"Itu namanya tantangan buat kita sebagai calon guru, Ja. Kamu sama sih kayak aku. Aku juga gak terlalu minat jadi guru. Kamu kan tau hobi aku apa, tapi aku gak tau juga jurusan kuliah yang sesuai sama hobiku itu apaan." Tiwi tertawa renyah.

Sejak dulu Tiwi menyukai hal-hal berbau Korea. Bisa di bilang dia itu K-Pop. Lagu-lagu, artis, film drama Korea bahkan gerakan dancenya pun dia hafal.

"Kenapa kamu gak masuk jurusan seni aja?"

Alis Tiwi berkerut. "Seni apa maksud kamu? Kan seni itu banyak."

"Ya, gatau juga sih hehehe. Kalau di liat-liat jurusan yang cocok sama hobi kamu tuh ya seni," kataku asal.

"Kalau cuma nyanyi atau dance, belajar otodidak juga bisa. Aku kok sampai sekarang gak tau ya bakat aku tuh di mana. Ahh jadi males hidup deh." Tiwi merutuk sendiri.

"Apaan sih, Wi? Kamu kalau ngomong jangan ngaco deh." Aku memukul pelan lengan Tiwi.

"Habisnya aku ngerasa hidupku tuh kayak stuck di situ aja. Gak kayak kamu, kamu kan bakat menulisnya udah ada sejak dulu. Jadi tinggal ngasah doang. Terus aku? Aku gimana ini, Ja?" Tiwi merengek lagi.

"Kamu tuh ngapain bandingin sama hidupmu sama hidupku? Hidupku aja gak semulus yang kamu kira kok," sangkalku.

Dulu aku pernah bermimpi untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Aku ingin kuliah sambil ngekos biar kesannya kayak anak mandiri gitu. Lalu agar bebas juga jika ingin pergi kemanapun. Tapi nyatanya, semua tak seperti yang aku inginkan.

Aku masuk kuliah di fakultas pendidikan. Bahkan ibuku sempat memintaku untuk menjadi guru. Itu sangat berlainan dengan kepribadianku yang kurang percaya diri. Menjalani praktikum magang ini pun karena paksaan keadaan, terlebih ini adalah kegiatan yang wajib diikuti mahasiswa semester akhir.

"Kamu ada rencana apa gitu setelah lulus kuliah?" tanya Tiwi.

Aku berpikir sejenak. "Ada, cuma aku gatau ini bakal sesuai dengan ekspetasi atau enggak. Karena buktinya sekarang aja aku gak bisa kuliah di jurusan yang aku mau. Aku gak yakin, Wi."

"Kok gitu sih, ja. Kamu jangan putus asa gitu dong. Sekarang apa yang kamu mau mungkin belum dikabulkan, tapi masa depan kan gak ada yang tau," papar Tiwi.

Senja Bersamamu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang