"Gimana ceritanya Radit bisa nonjok kamu lagi?" Sekarang aku sedang mengintrogasi Harun di UKS. Di sana juga ada Arfan dan Ivan agar aku tak hanya berdua dengan Harun.
"Dia aja yang terlalu emosi," kata Harun datar.
"Tapi gak mungkin dia emosi tanpa sebab. Dia bilang kamu ngejek dia. Emang kamu bilang apa?"
"Aku cuma bilang dia itu gak gentle jadi cowok. Kalau emang suka bilang aja. Gak usah pake cari masalah juga sama aku," jawab Harun.
"Mungkin dia sedang mencari waktu yang tepat buat ngungkapin perasaannya ke, Kak Senja," sahut Ivan.
"Hmm bener itu." Arfan menjentikkan jari.
"Emang Kakak udah berapa lama sih PDKT sama dia? Kalau sekiranya udah gak ada kejelasan, tinggalin aja. Menyiksa diri banget," cibir Harun.
Aku menghela napas berat. Sebenarnya sudah lama hubunganku dengan dia pun tak jelas arahnya kemana. Di bilang pacaran enggak, tapi deket udah kayak orang pacaran. Saling kasih kabar, saling perhatian, saling berbagi cerita. Tapi satu bulan lalu, komunikasi kami pun sebenarnya mulai merenggang. Mungkin terhitung sejak dia yang selalu membanggakan dirinya sendiri padaku.
"Nah, kan diem. Laki-laki kayak dia itu gak pantas diperjuangkan. Apa bagusnya coba dia?"
"Heh, kamu teh jangan gitu. Jangan menjelekkan orang lain," peringat Ivan.
"Tau nih, ntar kualat baru tau rasa," sambung Arfan. Cowok itu kini mengompres luka lebam di wajah Harun.
"Aww! Aduh!" Harun meringis ketika Arfan menekan wajahnya. Ia memukul lengan sahabatnya. "Pelan-pelan aja kali gak usah diteken juga. Kayak yang dendam banget sama aku."
"Ya elah, gitu doang masa sakit." Aku meledek sambil menahan tawa. "Suruh siapa sok jagoan!"
"Siapa yang sok jagoan sih? Aku udah bilang dianya aja yang emosian. Harusnya Kakak tinggalin tuh cowok. Udah gak bener tuh. Ke aku aja kasar, apalagi kalau Kakak beneran jadi istrinya. Ihh, gak kebayang sumpah!" Harun bergidik ngeri.
"Halah gayamu, Run. Pake ngomongin istri segala." Ivan tertawa kecil.
"Ya, aku kasian aja kalau nanti dia jadi korban KDRT. Mendingan Zaidan kemana-mana,"
Aku memicingkan mata saat ia lagi-lagi menyebut nama Zaidan. Kalau begini, namanya akan semakin terngiang di pikiranku. Bisa-bisa beneran gagal move on. Ups!
"Hahh, kamu ini Zaidan lagi, Zaidan lagi. Bosen aku dengernya juga,"
"Bosen apa bosen?" goda Harun.
"Diem kamu!"
"Emm bosen katanya. Tapi kenapa senyam-senyum?"
Aku langsung memasang ekspresi datar. Apa iya aku tersenyum? Ahh emang dasar wajah ini tak bisa diajak kompromi.
"Siapa yang senyum?" tanyaku jutek.
"Ya, Kak Senja. Siapa lagi emang?" kata Harun.
"Ah, udahlah. Tapi emang bener si Radit cari kamu, Run?" Aku mengalihkan pembicaraan agar anak itu tak lagi membicarakan Zaidan.
"Emm enggak juga sih,"
"Terus?"
***
Beberapa menit yang lalu ...
Saat itu Harun datang terlambat ke sekolah bersama beberapa siswa, termasuk kedua temannya. Mereka dihukum dijemur di lapangan selama jam pelajaran pertama. Bukan Harun namanya jika sedang dihukum tak bisa diam. Berkali-kali cowok itu mondar-mandir, bahkan duduk lalu berdiri kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Bersamamu (END)
Genç Kurgu⚠️Wajib follow sebelum baca ⚠️ Jangan lupa tinggalkan jejak, minimal vote *** "Senja selalu membuatku terus menyukainya. Karena dia selalu memberiku kehangatan dan ketenangan di saat dunia memberiku banyak masalah." -Harun. "Jika aku bukan senja yan...