Bab 1. Keluarga Besar

68 2 0
                                    

"Bu, saya harus ke rumah Papa, karena Papa saya sedang sakit."
"Kamu harus meminta izin terlebih dahulu kepada suamimu. Sebab sekarang ini kau adalah tanggungjawab suamimu."

"Baik, Bu. Saya akan menghubungi Mas Leon untuk meminta izin," tukasku yang kemudian menghubungi Mas Leon.

"Assalamualaikum, Mas. Mas, saya mau meminta izin untuk ke rumah Papa karena Papa sedang sakit, apakah boleh?"
"Tentu sayang. Maaf Mas enggak bisa nemenin kamu dikarenakan tugas Mas masih banyak."
"Hem, iya, tidak apa-apa, Mas. Saya paham dan mengerti dengan kondisinya. Kalau begitu saya akan menghubungi Mas ketika sampai di rumah Papa ya."
"Iya, hati-hati istriku."
"Iya, Mas. Semangat suamiku."
Tut...

Aku menoleh kepada Ibu mertuaku yang tengah tersenyum lalu melanjutkan mengelap piring. Wanita itu tampak mengambil beberapa buah-buahan di kulkas serta mengemas beberapa macam kue kering yang semalam kami buat. Setelah itu, dia memberikan kepadaku. Aku pun menerimanya dengan senyuman.

"Laila, kamu harus hati-hati di jalan. Ingat, kamu jangan memandang sesuatu bukan mahrommu," ujarnya menasehati.
Aku mengangguk dan menyalami tangannya. "Baik, Bu. Insya Allah saya akan menjaga pandangan serta hati saya. Saya tidak ingin membuat Mas Leon kecewa," balasku yang kemudian berjalan meninggalkannya.

Beberapa menit kemudian taksi onlineku telah datang. Aku pun segera masuk. "Bismillahirrahmanirrahim," kataku sambil tersenyum.

Mobilpun mulai melaju melewati perumahan. Kini memasuki jalan raya yang terdengar begitu berisik. Udara di sekitarnya juga tidak bagus lagi karena polusi ada di mana-mana.
Aku pandangi layar ponselku. "Terima kasih ya Allah karena Engkau sudah menjodohkan aku dengan Mas Leon serta aku memiliki Ibu mertua yang begitu baik. Ya, walaupun terkadang cukup menguras kesabaran saya," batinku.

"Permisi, Kak, apakah saya boleh izin sebentar untuk membeli air di minimarket depan. Kebetulan persediaan air saya habis," kata sopir taksi itu padaku.
Aku mengangguk dan mempersilahkannya. "Baik, Mas."

Krak...
Suara pintu mobil yang terbuka. Aku memainkan ponselku menunggu supir itu datang. Tak selang berapa menit, dia datang dengan membawa air mineral serta beberapa kue. Namun ada satu benda yang mencuri perhatianku. Aku pun memberikan diri untuk bertanya.

"Maaf jika saya terkesan tidak sopan. Apakah Mas sudah berkeluarga?"
"Ah belum, Kak. Tetapi kenapa Kak bertanya seperti itu?"
"Oh itu, saya melihat Mas membeli mainan boneka itu. Jadi saya berpikir kalau Mas membelikannya untuk anak, Mas."
"Bukan, ini untuk adik saya. Kebetulan hari ini saya mendapatkan rezeki berlebih."
"Masya Allah, beruntung sekali adik perempuan, Mas ya." Setelah itu tidak terjadi percakapan apa-apa lagi sampai kami tiba di rumah Papa.

Dari kejauhan aku bisa melihat cat rumah Papa yang terang. Warna hijau. Itu merupakan warna kesukaan Papa. Beliau pernah membaca sebuah cerita bahwa nabi Muhammad Saw sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau juga melambangkan kehidupan serta alam.

"Terima kasih ya, Mas. Semoga rezekinya lancar selalu," ucapku sambil menyerahkan beberapa uang kertas.
"Terima kasih, Kak. Tetapi ini sangat banyak dan saya tidak bisa menerimanya," tolaknya.
"Mas, tidak baik untuk menolak rezeki. Saya ihklas. Jadi ambil saja ya."
"Sekali lagi terima kasih banyak, Kak."
"Iya, sama-sama."

Aku tersenyum saat melihat keponakanku berlari menghampiriku. Umurnya baru saja 3 tahun 3 bulan. Namanya Kiara. Dia sangat lucu dan juga menggemaskan.

"Bunda," kata Kiara yang berlari kecil menyambut kedatanganku. Aku pun meletakkan barang bawaan dan merentangkan tangan. Hap, aku berhasil menangkap Kiara ke dalam pelukanku.
Aku menciumi keningnya. "Wah, Kiara wangi banget, hmp," kataku yang menggendongnya sebelah tangan, tangan sebelah lagi untuk memegangi tas bawaanku dari rumah.

"Assalamualaikum," ujarku masuk ke dalam rumah. Ruang tengah sudah dipenuhi oleh keluarga besar yang telah datang terlebih dahulu. Mereka sedang berbincang serta menikmati cemilan kecil.

Mereka menatapku dengan senyuman serta bahagia. "Wah, semuanya sudah ada di sini, ternyata Laila datangnya telat ya," kataku yang menyalami mereka satu persatu.

"Iya nih, biasanya kan kamu selalu datang paling awal. Kok sekarang jadi terakhir gini," ujar Kakak Iparku.
"Ah itu, tadi saya harus menunggu izin dari Mas Leon dahulu Kak."
"Laila, kenapa kamu harus menunggu izin dari suamimu. Lagipula kamu kan ke rumah orang tuamu, bukan ke tempat yang lain," jawabnya.
"Benar, Kak. Tetapi Mas Leon adalah suami saya. Mau bagaimana pun semuanya harus dengan izin Mas Leon. Saya enggak bisa pergi tanpa izin beliau. Bukan begitu, Pa?"

Papa yang sedang berbaring di sofa mengangguk lemah. Aku merasa kasihan padanya. Aku pun mengeluarkan barang bawaanku dengan hati-hati. "Benar. Seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya baru boleh untuk pergi. Sekalipun itu ke rumah orangtuanya. Papa bangga sama kamu sayang, Papa harap kamu bisa terus berbakti kepada suamimu," jelas Papa yang membelai kepalaku.

Aku tersenyum. "Insya Allah, atas izin Allah, Laila akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas Leon seperti Umi. Ya kan, Bang?" Kini aku menatap Bang El. Pria yang memakai baju koko warna biru muda itu mengangguk.

"Iya, dek. Umi adalah wanita panutan kita saat ini, begitu juga dengan Papa. Mereka berdua adalah orang tua yang sempurna bagi kita. Terima kasih ya Allah karena sudah menitipkan kami dalam keluarga ini," kata Bang El bersyukur.

"Bunda, Ara mau makan kue itu," ucap Ara yang menunjuk ke piring di dekatnya Ibunya.

"Ara mau kue ini ya. Sebentar ya Mama potongkan dahulu." Ara mengangguk, dari tatapannya nampak gadis itu kecil tidak sabaran untuk segera mencicipi kue yang kubawa.

"Ini sayang, makannya pelan-pelan ya. Tapi sebelum itu jangan lupa baca apa," ujar Kak Al dengan penuh kasih sayang.
"Baca doa, Ma." Ara pun membaca doa yang diiringi oleh Kak Al serta Bang El.

Aku tersenyum melihat kehangatan keluarga kecil mereka. Aku berharap suatu saat nanti bisa menjadi orang tua seperti Papa, Umi, Kak Al dan juga Bang El.

"Laila, kok kamu senyum-senyum gitu," ujar Umi yang ikut tersenyum melihatku.

"Umi, Bang El beruntung banget ya bisa memiliki Kak Al yang baik, pengertian, sholehah dan juga jadi teladan langsung buat Ara."
"Iya sayang. Ini merupakan rahmat yang luar biasa untuk keluarga kita. Oh iya, bagaimana kabar ibu mertuamu? Dia baik-baik saja kan?"
"Alhamdulillah, baik-baik saja, Umi. Oh iya, Ibu nitipin ini buat Umi sama Papa. Kata Ibu biar Umi dan Papa enggak perlu lagi beli makanan cepat di luar. Terus ini juga ada jamu yang bisa membuat badan Papa jadi hangat." Aku mengeluarkan banyak sekali jamu serta beberapa makanan. Aku mulai menata makanan itu di dalam kulkas.

"Nak, apakah selama ada di rumahmu saat ini, Ibu mertuamu memperlakukan kamu dengan baik?"

Kehidupan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang