Bab 12. Ihklas

6 0 0
                                    

Di sebuah ruangan minimalis bernuansa islami ada seorang gadis yang tengah tekun membaca lantunan ayat suci Al-Qur'an. Dia adalah Nana. Nana merasa sangat parah hati dengan kejadian tadi. Dia terguncang dan hidupnya diambang dilema.

"Ya Allah, walaupun kami sudah lama tidak bertemu, ternyata hatiku masih terasa sakit dan perih. Aku tidak tahu apakah ini yang dinamakan dengan cinta yang tulus, kalau iya kenapa harus diletakkan pada orang yang salah? Lantas juga kenapa harus dibalas dengan pengkhianatan seperti ini, hiks," ujarnya sambil menengadahkan tangan bercerita pada sang Pencipta.

"Ya Allah, ya Rab, jika begini adanya, mohon ambil semua rasa cinta yang ada di hati ini, rasa sayang dan rindu  ini. Ambil semuanya ya Allah. Izinkan hatiku fokus untuk mencintaiMu saja, hiks.  Jangan biarkan hatiku tersakiti oleh mahkluk ciptaanMu yang tidak punya hati, hiks!" Air mata sudah tak mampu tertahankan lagi.
Nana menangis di atas sajadah panjang di sepertiga malam. Bercerita dengan sang Khalik. Membiarkan matanya bengkak dengan air mata yang sudah lama tidak membasahi pipi.

Manusia kadang butuh relung untuk menangis, untuk membuang kesedihan yang terpendam. Sebab tidak ada seorang pun yang bisa menahan tangis hingga bertahun-tahun lamanya. Sekali pun kamu berusaha.

"Ya Allah, hari ini, kuihklakan semuanya padaMu. Kuserahkan urusanku, entah itu dunia maupun akhirat. Yang paling penting bagiku saat ini adalah meraih cintaMu, ya Rab, hiks. HambaMu ini begitu lemah dengan cinta. Lemah akan rasa yang haram dan tak pantas untuk hamba tangiskan dihadapanMu yang maha suci, hiks. Mohon berikan ampunan yang sangat luas untukku. Jika saja Engkau yang maha pemaaf tidak memaafkan, lantas kepada siapa lagi aku akan meminta ampunan, ya Rab?"

Tuhanmu tidak akan pernah menyakitimu. Tuhanmu tidak akan pernah mengecewakanmu, hanya saja kita sebagai manusia kerap kali mengecewakan Tuhan yang penuh kasih. Apakah Tuhan marah? Tentu saja tidak.

Tuhan sangat berharap kamu akan kembali padaNya dan menangis, menyesal dan memohon seperti ini. Percayalah,  jika itu tidak baik untukmu, maka lepaskanlah dan sesuatu yang baik untukmu akan segera datang.  Tetap bersabar dan ingat Allah selalu.

Selesai mengadukan semuanya, Nana pun tertidur lelap dengan suasana yang hati sedikit nyaman. Hingga suara adzan subuh menyapa, dia bergegas mandi, lalu sholat. Dia kembali menyapa sang Khalik dan meminta ampunan serta  meminta agar hatinya dikuatkan dengan kenyataan yang ada.

*******

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Laila dan Leon membaca salam. Setelahnya mereka pun murojaah hingga jam enam pagi.

"Mas, kemungkinan nanti aku pulangnya sedikit telat soalnya aku mau nemanin Nana, Mas," ujar Laila yang sedang merapikan mukenah.

"Iya, tidak apa-apa, sayang. Kalau boleh Mas tahu, Nana lagi ada masalah ya?" tanya Leon yang juga merapikan sarungnya sebelum diberikan pada Laila untuk digantung.

Laila mengangguk, "benar, Mas. Kayaknya masalah yang dihadapinya sulit, Mas. Apalagi ini menyangkut dengan seseorang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya," balas Laila yang kemudian duduk di samping Leon.

"Ya Allah, pasti sulit baginya. Ya sudah, Mas kasih izin buat kamu nemenin dia. Sebagai teman yang baik, kasih solusi yang baik juga biar Nana bisa ihklas dan tabah. Sebab tidak ada yang lebih utama dari kedua hal tersebut," kata Leon menasehati istrinya.

"Insya Allah, aku akan memberikan solusi terbaik yang bisa kulakukan. Ya sudah, aku mau bantu Ibu di dapur dulu sebelum ke kampus, Mas." Laila beranjak dari kasur dan kemudian pergi ke dapur.

Ketika di dapur, dia mendapati ibu mertuanya sedang menyicipi bubur ayam yang masih panas. "Bu, apa ada yang bisa Laila kerjakan lagi?" tanyanya sopan.

Si ibu mertua membalikkan badannya, tersenyum dan menggeleng. "Tidak sayang, semuanya sudah selesai. Tapi kamu bisa bantu Ibu untuk meletakan bubur ini di meja makan?"

"Tentu saja, Bu," jawab Laila yang segera memindahkan bubur ke dalam mangkok besar. Lalu dia juga menyusun piring dan sendok secara tertata.

"Laila akan menyiapkan makanan kita. Terima kasih ya Bu."
"Sama-sama sayang. Ibu ingin ke kamar dulu. Kalian tunggu saja di meja makan," kata Ibu mertuanya.

"Baik, Bu," jawab Laila yang  sedang menata piring-piring di atas meja. Dia juga menyiapkan susu untuk Ibu mertua serta teh hangat untuk Leon.

"Mas, kita beruntung banget jadi anak Ibu," tutur Laila sambil tersenyum ketika Leon datang.  Pria yang memakai baju kemeja abu-abu itu tersenyum. 

"Alhamdulillah sayang, kita harus berterima kasih kepada Allah karena sudah mengirimkan malaikat tak bersayap sebaik itu ke dalam hidup kita. Jika suatu saat nanti ada perkataan Ibu yang menyinggung kamu, Mas harap kamu  jangan langsung marah apalagi sampai membenci Ibu."

"Insya Allah tidak, Mas. Aku akan mencoba untuk memahami Ibu dan situasinya. Kalau seandainya aku tidak bisa mengatasinya, maka aku akan menyerahkan semuanya padamu."

"Masya Allah, terima kasih ya Allah, Engkau sudah menjadikan aku suami dari bidadari surga sebaik ini." Leon mencium telapak tangan Laila. Kedua pasangan itu saling tersenyum satu sama lain, serasa dunia hanya milik berdua.

*******

Laila pergi ke kampus bersama dengan Leon. Sesampainya di gerbang, dia melihat Nana yang berantakan. Matanya bengkak, jalannya tak stabil. Dia menjadi khawatir dan meminta untuk turun di depan gerbang saja.

"Na, Nana, kamu baik-baik saja kan?" katanya khawatir.
Namun Nana tidak menjawabnya. Gadis itu perlahan terisak dan butiran kristal kembali membasahi pipinya yang pucat.

"Sst! Jangan nangis di sini, enggak enak dilihat sama orang." Laila memapah Nana menuju taman kampus. Setelah menemukan tempat yang sunyi dan jauh dari orang-orang, dia membiarkan sahabatnya itu untuk menangis sepuasnya.

"Sudah aman. Sekarang kamu boleh kok nangis semaunya. Sebab tidak akan ada yang terganggu dengan tangisan kamu itu," katanya mengelus bahu Nana perlahan.

"La, a-aku rasa hidup aku hancur banget. Hatiku,  a-aku sakit sekali dengan kenyataan itu, hiks. Dia berjanji akan menungguku di waktu yang sudah kami tentukan. Namun nyatanya dia berbohong! Dia sudah menghancurkan  segala impianku, hiks!" jeritnya diiringi isakan tangis.

Impian? Ya impian untuk menjalani bahtera rumah tangga bersama. Memiliki keluarga kecil yang harmonis dan juga bahagia. Itu semuanya sudah direncanakan, namun di saat hubungan mereka berjalan beberapa tahun, Nana mendapatkan hidayah agar bisa meninggalkan kemaksiatan melalui pacaran. Saat perpisahan itu terjadi, mereka berdua cekcok.

Beberapa hari kemudian, mereka bertemu lagi dengan emosi yang stabil. Di saat itulah mereka mengikat janji akan menunggu di waktu yang sudah dibuat.

Kehidupan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang