Hi, everyone.
How are you?Gak tau lagi mau ngetik apa, intinya sehat-sehat selalu buat kalian ya. Tetap bahagia, hehew.
📍 Don't forget!!! Share cerita ini ke media sosial kalian supaya banyak orang yang tahu lapak ini. Dan sertakan komen apabila ada kesalahan dalam pengetikan. Jangan lupa bogeman di bagian bintang sebagai bentuk motivasi supaya aku bisa semangat update untuk part selanjutnya lagi, guys.
ֶָ֢HAPPY READINGֶָ֢
<𝟑
Wanda berjalan di area koridor sekolah dengan santai. Tangannya membawa almamater kebanggaan Pelita harapan. Suasana koridor masih nampak sepi, hanya beberapa saja yang berlalu lalang.
Sebagai info, sekolah ini memiliki beberapa gedung dengan fungsinya masing-masing. Gedung utama yakni gedung paling besar, itu diisi oleh ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, ruang lab dan ruangan penyimpanan lainnya.
Sedangkan gedung dua yang berada di dekat parkiran, itu diisi oleh ruangan ekskul, aula dan kantin, gedung tiga diisi gedung serbaguna pelita harapan, dan gedung empat dibuat untuk ekskul renang ditambah tersedia swimming pool disana juga markas milik anak Karate dan Taekwondo.
Kelas Wanda berada di lantai tiga. Perlu menggunakan lift untuk sampai kesana. Tak heran jika orang-orang diluar sana menginginkan sekolah disini karna takjub akan fasilitasnya yang super lengkap.
Tapi yang Wanda tahu, pemilik sekolah menawarkan pendaftaran bagi siapa saja yang ingin daftar di sekolah ini. Tak peduli dari kalangan atas, menengah ke atas, atau menengah ke bawah. Walaupun Wanda belum pernah bertatap secara langsung, tapi Wanda salut akan orang itu. Tak pernah membandingkan.
Yang Wanda dengar satu tahun yang lalu, saat pemilik sekolah itu berpidato. Wanda mengingat terus ucapannya.
'Sekolah ini keluarga saya bangun untuk mereka yang ingin menuntut ilmu disini. Tidak peduli mereka dari kalangan mana, karna tujuan dibangunnya sekolah ini untuk menciptakan murid yang berkarakter. Dari kualitas maupun kuantitas nya,'
Namun, satu hal yang menjadikan sebagian orang tak ingin mendaftar kesini.
Bully. Ya, pembullyan yang tak bisa dikendalikan penuh membuat sekolah ini dipandang lain. Mereka yang ingin masuk, merasa terbebani dan memilih daftar di sekolah lain. Dan orang tua yang merasa khawatir akan hal itu. Takut mengganggu psikis anak mereka.
Para guru tak begitu bisa mengontrol semua para muridnya. Jadi aksi itu kadang tak pernah diketahui. Kalaupun ada yang melapor, mungkin akan berpikir dua kali, karna mungkin akan berimbas balik kearahnya.
Sedang berjalan santai tiba-tiba lengkingan seseorang memanggil namanya. Semua yang ada di sana langsung menatap ke arah sumber suara. Sedangkan Wanda, dia terus menutup telinganya rapat-rapat.
"OH WANDAAAAA," ucap seorang siswi berkacamata ungu dibelakang. Tangannya menenteng tas laptop dan paper bag kecil.
Siswi disampingnya langsung mendorong tubuh si cewek kacamata hingga terhuyung ke samping.
Siswi kacamata itu menatap tajam. "Selow dong!. Kalo punya dendam ngomong sama gue baik-baik." Keduanya berhenti di hadapan Wanda.
"Lagian pagi-pagi bacot lo udah ngalahin bel perapan, set. Bikin yang lain sakit kuping gara-gara lo!," Tukasnya.
"Kalo sakit kuping tinggal pergi THT doang. Susah amat lo," timpalnya.
Gadis tomboy itu menyumpal gemas bibir gadis berkacamata. "Mulut lo kalo ngomong kayak belum pernah di sekolahin,"
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOUR'
Teen FictionSemuanya berawal dari surat wasiat kakek mereka. Dua remaja yang tak tahu apa-apa, kini harus dipersatukan mengingat satu masalah yang belum bisa di pecahkan dan rahasia yang belum bisa di kupas tuntas. Daffa dan Wanda, remaja yang kembali dipertem...