Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, tapi Selina tidak memperdulikannya. Dia merasa perlu untuk berada di luar, menikmati kesunyian dan kedamaian yang ditawarkan oleh malam. Dia berjalan perlahan, menikmati cahaya bulan yang menerangi jalannya dan membuat bunga-bunga di taman tampak berkilau.
Taman mawar putih itu selalu menjadi tempat favoritnya. Di sana, dia bisa merasa tenang dan damai, jauh dari kebisingan dan keramaian asrama. Dia duduk di kursi taman, menatap bunga-bunga yang tampak begitu indah di bawah sinar bulan.
Selina merenung, mencoba memahami mimpi yang terus menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia melihat seorang putri kerajaan dan ketiga ksatria yang selalu bersamanya. Semuanya tampak begitu nyata, tapi sekaligus juga begitu samar. Dia tidak bisa melihat wajah mereka, tapi dia bisa merasakan emosi mereka.
Dia merasa ada sesuatu yang penting tentang mimpi itu, sesuatu yang dia perlu mengerti. Tapi apa? Dan mengapa dia terus bermimpi tentang hal yang sama?
Dia menghela napas, merasa frustasi. Dia merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, sesuatu yang penting. Tapi dia tidak tahu apa itu.
Selina menatap bunga-bunga mawar putih itu, mencoba mencari jawaban. Tapi jawaban itu tidak datang. Dia merasa lebih bingung dan frustasi.
Cahaya bulan yang mengenai permukaan kolam menciptakan pantulan cahaya yang memukau, membuat bunga lotus yang mengapung di atasnya tampak seperti permata berkilau. Selina, yang sedang duduk di tepi kolam, tanpa sadar memasukkan tangannya ke dalam air, merasakan dinginnya air kolam di ujung jari-jarinya.
Namun, tiba-tiba saja, sesuatu menarik tangannya dengan kuat, hampir saja membuatnya terjatuh ke dalam kolam yang dalam itu. Untungnya, ada seseorang yang cepat meraih lengannya, menahannya dari jatuh.
"Kau tidak apa-apa?" tanya lelaki itu, matanya penuh kekhawatiran.
Selina terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mengapa tiba-tiba ada yang menarik tangannya? Kejadian yang tak terduga itu cukup mengguncang kesadarannya.
"Hei... apa kamu baik-baik saja?" Lelaki itu melambaikan tangannya di depan wajah Selina, tampak bingung melihat reaksi Selina.
"A-ah... aku nggak apa-apa, tadinya hanya terkejut." Jawab Selina, akhirnya menemukan suaranya kembali.
Lelaki itu menghela napas lega, lalu dengan serius dia berkata, "Jangan masukkan tanganmu ke dalam air itu lagi, jiwamu bisa diserap oleh makhluk kegelapan."
Perkataan lelaki itu cukup mengundang perasaan takut Selina, tapi dia juga merasa penasaran. "Maksudmu apa? Makhluk kegelapan? Siapa mereka? Apa mereka yang menarik tanganku tadi?" Pertanyaan beruntun keluar dari bibir Selina, mencerminkan kebingungan dan rasa ingin tahunya.
Lelaki itu tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Buang jauh-jauh semua itu, karena walaupun mereka nyata, mereka tidak akan pernah muncul dihadapanmu."
Selina terkejut, "Wow... kamu bahkan bisa membaca pikiranku sekarang," katanya, terpesona oleh kemampuan lelaki itu.
"Aku tidak membaca pikiranmu tapi terlihat dari tampangmu." Elak lelaki itu dengan cepat, membuat Selina semakin bingung.
Selina memegang wajahnya, merasa heran. Apakah hanya dengan melihat, seseorang bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain? Apakah pikirannya terbaca begitu jelas di wajahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di pikirannya, membuatnya semakin penasaran tentang lelaki misterius itu.
Jaan, dengan nada menuduh, memandang Solon dengan tajam. "Solon, apa yang sedang kamu lakukan di sini di tengah malam? Dan kamu bersama gadis dari asrama perempuan? Kamu tahu kan kalau kepala asrama mengetahui ini, kamu bisa dihukum?" serunya, suaranya bergema di udara malam yang sejuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk the line of destiny
أدب الهواةSelina, seorang siswi di Decelis Academy, mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak setelah masuk sekolah tersebut. Setiap malam, ia terus-menerus bermimpi tentang tiga orang lelaki bangsawan dan seorang putri yang selalu muncul dalam mimpinya. Namun...