.
.
" ... أنا أحبك جداً" (aku sangat cinta padamu)
.
.
***
"Akhirnya kamu telepon aku. Kukira kamu lupa sama istrimu. Aku akhirnya tahu kabarmu dari TV."
Benar, 'kan? Istriku marah, batin Yunan. Ia bergegas keluar kamar, tak ingin percakapannya dengan Arisa terdengar orang lain.
"Om Yunaan! Mau ke mana? Baru aja dateng, udah pergi lagi!" teriakan Ishaq yang lantang, pastinya terdengar oleh Arisa. Tapi Yunan mengabaikannya karena sekarang ada yang lebih darurat.
"Bukan, sayang. Denger dulu. Jadi, ceritanya -- ," jawab Yunan berbisik, tapi sepertinya tetap terdengar oleh Haya yang nyaris bertabrakan dengan Yunan saat Yunan membuka pintu kamar.
Beberapa saat kemudian, Yunan sudah berada di teras. Menjelaskan duduk perkaranya pada Arisa. Dan setelah beberapa saat kemudian ...
"Ya. Aku ngerti. Aku cuma kecewa aja, kamu lama banget ngasih kabar."
Suara Arisa terdengar lesu, membuat Yunan makin merasa bersalah.
"Afwan," ucap Yunan pelan.
Hening sesaat sebelum Arisa bertanya, "pipimu sakit, sayang?"
"Cuma luka kecil. Sudah diobati Elaine," jawab Yunan. Tiba-tiba bayangan saat Raesha mengompres pipinya semalam, menyeruak begitu saja di ingatan, membuat panas wajahnya. Tidak. Tidak. Luka yang dimaksud Arisa, adalah luka sayatan di pipinya. Bukan memar. Luka sayatan itu, memang yang mengobati adalah Elaine. Jadi dia tidak bohong pada istrinya.
Di ujung sana, Arisa terdiam. Diobati Elaine. Bukan diobati oleh -- Arisa menggigit bibir. Kesal dengan dirinya yang masih saja cemburu, dalam keadaan keluarga suaminya sedang tertimpa musibah seperti sekarang ini.
"Syukurlah. Gimana Ibu? Aku mau telepon Ibu, tapi takut mengganggu," tanya Arisa, seolah buru-buru membahas topik lain. Pikirannya perlu pengalihan perhatian.
"Ibu baik-baik saja. Telepon saja, tidak apa-apa. Aku dan Adli baru kembali dari pemakaman. Kami sedang istirahat dulu, sebelum sebentar lagi pulang ke rumah Adli."
Arisa diam sesaat. Getir itu kembali terasa. Rumah Adli. Begitu rumah itu disebut, setelah Dana dan Yoga wafat. Kediaman keluarga Danadyaksa, yang pastinya menyimpan banyak sejarah antara Yunan dan Raesha.
"Sayang?" Yunan memanggil istrinya. Sempat disangkanya, sambungan telepon bermasalah, karena tak ada suara dari lawan bicaranya.
"O-Oh. Iya. Nanti insya Allah aku telepon Ibu. Lalu ... gimana Raesha?" tanya Arisa dengan nada ragu pada suaranya.
"Dia masih syok pastinya, setelah kejadian semalam. Dan rumah Raesha sementara belum bisa ditinggali. Selain karena kacau balau setelah teror itu, ramai polisi di sana. Makanya, Raesha dan anak-anak, sementara tinggal di rumah Adli dulu. Setidaknya sampai pengadilan selesai. Kasihan juga mereka, mungkin masih trauma kalau harus tinggal di runah itu."
Arisa menghela napas. "Ya. Tentu. Wajar saja," gumamnya pelan. Jika itu terjadi pada dirinya, kemungkinan Arisa juga akan trauma, terutama saat di rumah sendirian.
"Kalau begitu, kamu masih lama di sana?" tanya Arisa lagi.
"Sepertinya begitu. Polisi mungkin akan segera menghubungi Raesha, dan kami akan dimintai keterangan. Tidak mungkin selesai sekali pertemuan. Pasti akan mondar-mandir ke kantor polisi. Belum lagi proses pengadilan. Akan makan waktu cukup lama. Aku akan bicara pada Zhafran nanti. Terpaksa menitipkan majelis lebih lama pada Zhafran," nada suara Yunan terdengar merasa bersalah saat mengucapkannya. Bayangkan kalau tidak ada Zhafran di sana. Yunan tidak berani mempercayakan ceramah majelis pada sembarang ustaz. Sementara Ustaz Umar sibuk di pesantrennya.
![](https://img.wattpad.com/cover/354847763-288-k565687.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED 2
SpiritualSemua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik angkatnya sendiri. Plus, Yunan jadi lebih akrab dengan Ismail dan Ishaq, kedua putra Raesha. Arisa sebagai istri Yunan, dibuat galau dengan p...