Semilir angin yang berlalu lalang dengan kencang kini menusuk kulitku. Cahaya matahari sore pun juga terasa hangat, mengenai separuh wajahku, miris sekali ketika wajah keriput ini terkena afeksi komponen alam. Sebenarnya itu tidak berpengaruh besar, lagipula aku juga tidak sendirian, ada orang yang gigih mendorong kursi roda berkarat ini, suamiku, Niskala.
"Aku ini memang banyak mau ya?" tanyaku, dengan wajah yang ingin menangis saat itu juga.
Niskala mengusap wajahnya kasar, "aku tidak marah, maaf."
Entah mengapa selepas kejadian mengerikan itu terjadi aku menjadi sangat sensitif, bagaimana jika Niskala meninggalkanku? bagaimana jika Niskala mencari penggantiku? membayangkannya pun aku hampir menangis, seorang Lengkara Dewi, mengaku tidak bisa hidup tanpa suaminya, Niskala Maharaja.
"Kamu mau pergi kemana? sudah hampir sore dan kamu tidak membawa jaketmu, ayo pulang, Kara." mohon Niskala sendu, istrinya ini memang sedikit keras kepala.
Aku sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Niskala, kualihkan kedua bola mata bersih yang selama ini melengkapiku, menghadap ke lautan yang sibuk bekerja mendeburkan bulir-bulir ombaknya. Kaki kananku berusaha menyentuh ribuan kerikil dan batuan berukuran sedang yang cukup mengganjal di bawah kursi roda, alat penopang hidupku.
"Aku ingin disini saja, aku tidak mau pulang," hal seperti inilah yang sebenarnya aku takuti, jika Niskala pergi karena sifatku yang suka memaksa, keras kepala.
Niskala meregangkan genggaman tangannya di kursi rodaku, kini ia beralih dengan memegang tengkuk serta bagian bawah pahaku, Niskala membawaku menuju sebuah kursi kayu panjang, dari atas tebing ini, semakin terlihat dengan jelas gulungan ombak yang melukai dasar tebing dibawahku, suaranya membuat telingaku sakit, sekaligus menenangkan.
"Kal?"
Niskala menoleh, memandangku dengan tatapan yang sama, sama seperti beribu-ribu tahun silam, alisnya bertaut, seolah bertanya, "Ada apa? "
Perasaan bahagiaku semakin membucah, ini yang aku sukai sejak dahulu, Lengkara, Niskala, bersama lautan dan ombaknya. Aku suka, Niskala yang tanpa bicara sepatah kata, tapi ia rela dan langsung melakukan apapun untukku, apakah dia ini memiliki bahasa cinta dengan tipe act of service? jika bahasa anak muda jaman sekarang, itu dinamakan peka.
Baik, sepertinya aku harus mendeskripsikan seperti apa sosok Niskala. Umurnya sudah di tahap kepala tujuh, sama saja sepertiku. Dia tampan, benar-benar tampan, sekalipun guratan kasar telah timbul diwajahnya. Rambut putih juga sudah memenuhi kepalanya. Tapi apa aku peduli? bagaimanapun kondisinya, dia tetap Niskala, pengisi ruang di hatiku.
Niskala ini orang yang sangat sabar, baik, lembut, penyayang, walau dia terkadang cuek. Ah, sebenarnya masih banyak kata yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan Niskala, namun baiklah, ini saja sudah cukup.
Oh iya, darimana aku bisa memulai cerita ini?
Mari kita kembali ke ratusan tahun silam, pertama kali seorang Lengkara Dewi, bertemu dengan Niskala Maharaja.
Dulunya, aku adalah seorang tuan putri. Katanya, aku dulu adalah orang tercantik, kecantikan yang kumiliki sangat tersohor se-antero pulau Jawa. Perkenalkan, Dyah Pitaloka Citraresmi, putri kerajaan Sunda Galuh, kerajaan yang sempat makmur kala itu, sebelum sebuah tragedi yang berdampak besar bagi Sunda dan seisinya.
Katanya, cinta sejati ialah dua insan yang memiliki perasaan tulus yang saling menerima tanpa pamrih, perasaan yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Jika ditanya soal cinta, aku awalnya tidak percaya, apa itu cinta? namun setelah kehadiran seorang juru gambar, Sungging Prabangkara, yang berhasil mengubah pandanganku tentang cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Laksamana Hati
RandomMemang sudah hakikatnya, layaknya Adam dan Hawa, maka Lengkara dan Niskala juga seperti itu. Pertemuan mereka menerbitkan senyuman terpatri, dan menyakitkan. Lantas apa yang dapat mereka perbuat? sekalipun mereka telah ditemukan kembali, mereka juga...