2| Perihal Rasa Takut

669 99 123
                                    

"Sebab siapa pun manusia yang ada di bumi ini, berhak untuk dirayakan dalam bentuk hal baik apa pun yang ada di dunia, tanpa terkecuali."

●𝓛𝓪𝓴𝓼𝓪𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓟𝓪𝓹𝓪●

Juan punya banyak rasa takut dan keraguan, sebetulnya.

Tapi, karena Papa selalu terlihat kuat, Juan juga selalu berpura-pura kuat. Padahal setiap tahun, Juan selalu berharap tiada hari yang mengingatkannya akan hadirnya ia di dunia. Juan selalu mau tanggal itu lenyap dari peradaban atau dihapus saja lah dari kalender tahunan.

Karena Juan benci ulang tahunnya. Juan benci fakta ia telah membunuh mamanya.

"Kalau Juan sudah delapan belas tahun, Juan tinggal bersama kami saja, keluarga mamanya. Kami akan bawa dia ke Australia, kampung halaman mamanya. Saya yakin Freya juga lebih senang putranya kami yang jaga. Bersama kamu tidak aman. Saya nggak mau kejadian beberapa tahun lalu terulang lagi pada cucu saya."

Juan juga benci jika hari ulang tahun akan menjadi hari terakhir Juan hidup bersama papanya.

Juan tahu, Juan pernah dengar omanya mengatakan itu secara gamblang saat Juan ada di dekat mereka. Mungkin dulu kalau Papa tidak suruh Juan pergi ke kamar atau diberi duit seratus untuk beli mainan dan jajanan apa pun di luar sana, Juan pasti masih terus ada di sana. Terus dengar papanya direndahkan, terus dengar kata-kata 'dipisahkan' yang Juan tidak mau dengar.

Juan cuma mau hidup dengan Papa. Hidup tanpa Mama saja Juan sudah sebegitunya berusaha, bagaimana nantinya jika Juan harus hidup tanpa Papa?

Mungkin Juan hampir saja akan meneteskan air mata jika saja kepalanya tidak dilempari kaleng bekas dari luar jendela tiba-tiba. Sial, Air mata Juan refleks naik lagi.

"Anying, Yayat!" kesal Juan berdesis seraya mengusap dahi— tidak sakit-sakit sekali, sih, tapi lumayan juga.

Sedang sang pelaku malah terkikik geli sendiri di seberang rumah. Menertawakan Juan dari dalam kamarnya sendiri. Segera menutup jendela karena takut dilempar balik oleh Juan yang sudah siap-siap mau melayangkan tembakan.

"Dasar cupu!"

Gayatri hanya memeletkan lidah saja dari balik kaca jendela. Tangannya lalu bergerak, menyusun kalimat yang dapat dengan mudah Juan mengerti dengan raut ekspresif yang mendukung kalimatnya sendiri.

"Lagian, melamun aja. Habis dimarahin ya sama duda paling keren sekompleks ini? Kasian, haha. Bandel, sih!"

Juan lantas memasang wajah mencibir, lalu membalas Gayatri dengan gerakan tangan dan ekspresinya yang khas juga.

"Mana ada dimarahin. Nih ya Yat, selama gue nggak mengusik ternak warga, Papa tuh bakal masih biasa aja. Chill, Bro."

"Dih, tengil banget!"

Juan hanya tertawa.

Jika ditanya kenapa mereka memilih berkomunikasi lewat tangan dan ekspresi wajah saja bukannya lewat ponsel pintar atau langsung berbicara, itu sebab dua anak itu telah sangat terbiasa. Karena jarak jauh dan suara kadang bisa mengganggu, Juan lebih senang menggunakan bahasa isyarat saat mengobrol dengan Gayatri dari kamar mereka masing-masing.

Jika ditanya lagi bagaimana mereka bisa berkomunikasi dengan cara itu pula, alasannya sebab Ibu Gayatri punya keterbatasan dalam berbicara.

Dari kecil, Juan dan Gayatri sudah hidup berdampingan. Sejak Jeffrey pindah ke sana, Ibu Gayatri banyak membantunya di masa-masa ia kesulitan merawat seorang anak untuk pertama kalinya. Juan bahkan sudah kenal bahasa isyarat sejak ia masuk TK. Mulai fasih sejak sekolah menengah pertama. Sekarang ia tidak hanya menggunakan bahasa isyarat saat berkomunikasi dengan Ibu Gayatri saja, tapi dengan putri tengilnya juga, si Rahayu Gayatri.

Laksamana PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang