2. Luapan

0 0 0
                                    


Ada filter abu-abu samar menutupi daratan dan langit. Semua objek terpotret dalam gerak lambat dramatis. Untuk sesaat bumi bergetar, raungan terdengar dari langit, kemudian udara bergelombang, retakan demi retakan muncul pada ruang di atas ibukota.

Radar menganggap aliran besar energi meluap dari dimensi tak dikenal. Petinggi-petinggi dunia menanti cemas setelah dalam bunker anti Ensi mereka. Kementrian mulai merencanakan berita palsu untuk menutup-nutupi kejadian. Karena tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu mala itu menghantam.

***

Dan disaat seluruh dunia terjebak dalam kekakuan, kehilangan warnanya dan benar-benar diam. Aku berjalan keluar dari rumahku dengan baju besi. Sekarang ketika hukum ruang dan waktu koyak, siapapun yang bisa bergerak tak lagi dibatasi jarak.

Jadi dalam selangkah aku hilang dari tempatku berpijak. Menapak lagi di bawah Monas, menatap lubang hitam yang menganga di atas langit.

"Lamina, apa yang kau rasakan dari sana."

Zirahku tak menjawab, tapi tubuhnya bergetar dan gemerincing tak karuan.

"Jangan pergi kesana."

Aku terkesiap, Lamina bahkan sampai memperingatkanku.

Tak lama udara mulai mengental, memadat seperti jeli membuat tubuhku terjebak. Sementara aku pasrah seperti sayur di atas talenan tawa kanak-kanak muncul dari lubang portal, sepasang tangan keluar merobek lubang hitam untuk membuatnya lebih lebar.

sialan oh sialan

Sebuah telapak tangan menamparku seperti serangga. Tubuhku terbang hingga menembus beberapa rumah. Sakit sekali, bahkan dengan Lamina melindungiku dari dampak langsungnya.
Jika aku menghadapinya sendiri, pasti tubuh ini akan hancur. Dan kesadaranku harus mengembara lagi untuk menemukan tubuh baru.

Lalu dari kejauhan, sepenuhnya sosok yang turun dari portal pekat itu berdiri. Humanoid berbadan gering dengan kulit keriput, seluruh badannya kuning cerah dan bersisik, wajahnya dipenuhi mulut-mulut dengan gigi tajam yang terus mengeluarkan tawa tak menyenangkan. Sosok itu menyampingi monumen nasional dan bangunan itu hanya mencapai dada tingginya.

"Lamina, dekatkan aku dengan benda itu."

"Aku mungkin akan hancur berkeping-keping jika terus menerima serangannya."

"Siapa bilang kamu harus ikut?"

"Hah? Bagaimana? Kau akan lari seperti orang bodoh kesana?"

"Tentu saja tidak, lontarkan aku saja hingga bisa menyentuhnya."

"Dengan senang hati."

Lamina merubah wujudnya jadi gadis manusia kembali. Mengangkat tubuhku dengan mudahnya kemudian melemparkannya ke raksasa kuning. Aku memfokuskan konsentrasiku di tengah penerbangan. Membuat medan penyerap disekitarku.

Raksasa kuning itu tertawa, tangannya kembali mencoba menabok diriku. Tapi kali ini tubuhnya berhenti, bergetar, lalu terdistorsi dan terserap dalam sekejap mata kedalam penghalang yang aku buat.

Masih melaju di udara, aku berpindah tempat ke Lamina. Wanita itu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

"Kupikir kau sudah hancur."

"Tidak semudah itu ferguso."

"Jadi, kemana hilangnya raksasa tadi?"

Aku mengeluarkan kubus transparan dari dadaku. Raksasa kuning terjebak dan mengedor-gedor dindingnya didalam.

"Apa seperti ini caramu mengangkapku dulu."

"Ya."

Aku melihat sekeliling, dunia sidah kembali bergerak secara perlahan. Hukum alam yang kacau mulai diperbaiki dengan lebih cepat.

"Ayo pulang."

"Ayolah hari ini saja biarkan aku keluar lebih lama."

Aku mengeleng, tubuh Lamina kembali jadi zirah yang menyelimutiku. Kemudian aku berjalan di dunia yang terjebak dalam gerak lambat. Melompat diantara gedung-gedung pencakar langit dan kembali ke rumah.

Virtual prisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang