22. Ancaman

660 65 3
                                    

Setelah izin selama beberapa hari, Sean akhirnya kembali ke sekolah. Dia senang dapat bertemu dengan teman-temannya lagi, terutama kedua sahabatnya, Juan dan Riko. Hanya saja, dia tertinggal begitu banyak pelajaran dan karena itu harus mengejar sederet materi.

Dia memiliki sesi khusus bersama seorang guru di perpustakaan sekolah setiap jam istirahat kedua.

Hari itu, gurunya izin tidak datang, namun Sean tetap memutuskan untuk mengejar materi di perpustakaan. Juan dan Riko sedang jajan di kantin, lantas dia sepenuhnya sendirian sekarang.

Dia tidak suka perasaan yang dirasakannya saat sendirian.

Salah satu alasan mengapa dia bersikeras untuk tetap sekolah terlepas kondisinya adalah karena dia tidak ingin merasa sendiri.

Entahlah. Sendirian membuatnya merasa lemah.

Sean menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran tersebut. Dia memaksa dirinya untuk sepenuhnya fokus pada buku pelajaran dan komputer di hadapannya.

Hal tersebut hanya berlangsung selama setengah jam karena kini seseorang tiba-tiba saja memanggilnya.

"Lo Sean, kan?" tanya seorang siswa.

Sean menengadah ke arah sumber suara. Melalui seragam yang dikenakan siswa itu, sepertinya dia adalah siswa SMA--tepatnya kelas 2. Itu berarti dia seangkatan dengan kakaknya.

Sean mengangguk. "Iya, Kak."

Siswa itu tersenyum. "Lo ditungguin jemputan lo di luar. Satya tadi minta gue nganterin lo ke depan."

Kedua alis Sean bertaut heran.

Tidak biasanya Satya menyuruh orang lain untuk membantu Sean. Sebagian besar karena kakaknya tahu Sean tidak perlu dibantu terus-menerus.

Namun kalaupun benar kakaknya meminta orang lain untuk memeriksa Sean, Satya pasti akan memilih Jayan, Azka atau Nara--bahkan Jenna, bukannya siswa yang tidak pernah Sean lihat dekat dengan kakaknya itu.

Lantas Sean mencurigai lelaki di hadapannya itu. Hanya saja, dia tidak tahu mengapa dia harus sampai segitunya.

Toh, tidak mungkin ada hal buruk yang bisa terjadi, bukan?

Barangkali orang ini hanya sedang bercanda atau apalah.

"Eh, tapi Sean masih ada kelas lagi nanti," ucap Sean. "Emang Kak Satya mau Sean pergi ke mana?"

"Kata Satya, lo ada jadwal terapi," siswa itu berkata. "Masih nggak percaya?"

Pemuda itu kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, mencari sesuatu di data kontaknya, lalu menunjukkan sebuah chat antara dirinya dan Satya pada Sean.

Itu memang nomor kakaknya, dan Satya benar mengatakan bahwa jadwal terapi Sean memang sedikit mendadak, namun adiknya itu harus tetap datang.

Sean terdiam lama, mengamati buku pelajarannya yang tergeletak di atas meja.

"Gimana nih? Lo udah ditungguin katanya," ujar siswa tersebut.

Sean akhirnya mengangguk. "Yaudah. Tapi, ini serius udah dapet perizinan sekolah juga kan, Kak?"

"Kata Satya sih gitu."

Mungkin Sean hanya mengkhawatirkan yang tidak-tidak.

"Oke deh! Makasih udah mau bantu ya, Kak! Maaf ngerepotin!" sahut Sean saat teman Satya itu mendorong kursi rodanya menuju lobi sekolah.

"Santai~! Satya kan temen gue," tukas siswa tersebut.

Nara pergi ke kelas Shella pada istirahat kedua karena kawannya yang satu itu tiba-tiba saja mengalami mood swing dan menolak untuk makan di kantin bersamanya. Tidak. Jangankan makan di kantin, Shella pada dasarnya memang menolak pergi keluar kelas.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang