2. Disengaja Atau Tidak

32 5 0
                                    

Setibanya Ellen di depan kelas, dia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Beberapa saat kemudian, setelah napasnya sudah kembali teratur, dia mencoba mengumpulkan niat keberanian untuk mengetuk pintu karena di dalam kelas pelajaran sudah dimulai.

Baru saja tangannya melayang di udara, seorang pria yang entah datang dari mana tiba-tiba saja mengetuk pintu lebih dulu, mendahului Ellen yang saat itu hanya terperangah kaget dibelakangnya.

Tok,,,tok,,,tok,,,

"Assalamu'alaikum, pak" ucap pria itu dengan suara yang sangat familiar di telinga Ellen.

"Wa'alaikumussalam" jawab pak Tono setelah melihat ke arah sumber suara. "Ada keperluan apa Nevan? Bukankah kelas sudah dimulai? Kenapa kamu malah berkeliaran ke sini?" lanjut pak Tono dengan penuh tanda tanya.

Sedangkan Ellen yang sedari tadi membelakangi pria tersebut, seketika itu mengatupkan tangannya ke arah mulut. Tidak menyangka bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah Nevan.

"Mohon izin pak, saya ingin mengambil buku yang dipinjam Nara ke saya, pak" ketika mendengar nama Nara disebut, Ellen mengernyitkan kening hingga matanya menyipit karena heran dengan perkataan Nevan barusan. 'Sejak kapan bang Nevan menjadi akrab dengan Nara?' Ellen membatin.

"Kenapa kamu baru menghubunginya sekarang, bukankah tadi ada jam istirahat?"

"Waktu jam istirahat tadi, saya sudah ke kelas ini pak tapi Naranya yang ngak ada," jawab Nevan sambil mengusap tengkuknya.

"Ya sudah kalau begitu. Nara,,, kembalikan buku yang kamu pinjam ke Nevan!" perintah pak Tono, kemudian lanjut menulis rumus di papan tulis.

Seketika, Nara yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, langsung merogoh tasnya mengambil buku yang dimaksud dari percakapan tersebut. Ellen yang menyadari ada kesempatan di depan matanya itu, bersiap-siap untuk  memasuki kelas secara diam-diam. Karena pak Tono sepertinya tidak menyadari kehadirannya yang tepat di belakang Nevan.

Setelah Ellen melihat Nara sudah mulai berdiri untuk menghampiri Nevan, di waktu yang bersamaan pula, Ellen mencoba mengambil langkah dengan perlahan dan segera menuju ke kursinya. Nevan yang melihat tingkah konyol Ellen hanya tersenyum tipis. 'Akhirnya, beraksi juga tu anak,' ucapnya dalam hati.

Sesampainya Ellen di kursi, Arasya yang duduk di sebelahnya langsung merecoki dengan berbagai pertanyaan. "Len, kok kamu lama banget sih? Kan aku cuma memintamu untuk mengambil bekalku. Terus, Nara, adik tirimu itu, kok bisa kenal dengan bang Nevan?" tanyanya dengan berbisik.

"Mengenai bekalmu, ceritanya panjang. Jadi, tidak perlu dibahas lagi," kata Ellen sambil melihat interaksi antara Nara dan Nevan. "Kalau hubungan antara Nara dengan bang Nevan, sorry banget, aku juga tidak tau" lanjutnya lagi.

Tiba-tiba, Nevan kembali bersuara hingga memecahkan keheningan di dalam kelas, "Saya pamit ya, pak. Terima kasih atas waktunya, pak. Assalamu'alaikum" ucap Nevan.

"Iya, wa'alaikumussalam" jawab pak Tono.

Sebelum meninggalkan ruangan kelas, Nevan sempat memperhatikan Ellen sangat lama. Ellen yang menyadari jika dirinya ditatap Nevan dengan sangat intens itu, merasa risih dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis. 

Setelah melihat Ellen yang risih karenanya, Nevan kembali tersenyum tipis dan bergegas pergi dari kelas tersebut.

***

Siang ini, udara terasa sejuk sekali. Menari-nari hingga menelusuk ke setiap tubuh para siswa yang saat ini terlihat sedang berteduh di depan selasar sekolah, menanti dan berharap langit  segera dihiasi dengan awan-awan putih yang lebih cerah. 

Ellen menengadahkan tangannya ke arah hujan yang sedang turun ke bumi, membasahi setiap permukaan bumi yang dilaluinya. Matanya terpejam untuk se-saat, meresapi setiap detik air hujan yang menyentuh tangannya. Sangat dramatis, tentu saja, seperti kehidupannya yang selalu dilalui dengan kedramatisan keluarga barunya.

Tiba-tiba dari arah belakang, kedua pundak Ellen ditepuk oleh seseorang yang memiliki tangan putih halus tanpa noda luka sedikitpun. Ellen kaget dan langsung menoleh ke belakang, mendapati Nara sudah berdiri di sana dengan senyuman termanisnya.

"Hai kak, sendirian aja nih?" sapa Nara sambil merangkul tangan Ellen.

Ellen hanya tersenyum manis membalas sapaan adiknya itu. Meskipun hanya sekedar adik tiri, menurut Ellen hanya Nara lah yang mengerti perasaannya. Dibandingkan dengan ibu dan kakak tirinya yang selalu penuh dengan drama yang berlebihan hingga membuat kehidupan Ellen semakin berantakan.

"Kak, apa besok kakak ada kegiatan setelah pulang sekolah?" tanya Nara yang membuyarkan Ellen dari lamunannya.

"Tidak ada." jawabnya singkat.

"Besok, Nara dengan bang Nevan mau ke toko buku." jelas Nara hingga membuat Ellen mengernyitkan dahi untuk kedua kalinya hari ini. "Jadi, Nara tidak bisa pulang bareng kak Ellen." lanjutnya lagi dengan mata tetap memandang lurus ke depan.

"Sejak kapan kamu dan bang Nevan saling kenal?" tanya Ellen sangat penasaran dengan kedekatan mereka.

"Aku tidak ingat sejak kapan, tapi yang jelas semenjak aku secara tidak sengaja bertemu dengan bang Nevan di cafetaria samping sekolah." jawab Nara yang hanya diangguki kepala oleh Ellen. 

Akhirnya terjawab sudah rasa penasaran di hati Ellen mengenai pertemuan antara adiknya itu dengan Nevan. Meskipun, Ellen tidak mendapatkan informasi lebih detail terkait penyebab kedekatannya.

Kemudian, tidak ada lagi pembicaraan berlanjut hanya kesunyianlah yang menyelimuti kedua saudari tiri itu. Dan tiba-tiba saja, Ellen dikagetkan dengan suara teriakan teman-temannya Nara dari dalam sebuah mobil Avanza berwarna hitam.

"Nara...! Ayooo, pulang bareng kami! Kalau nunggu hujan berhenti pasti lama." 

Nara yang diteriaki oleh teman-temannya itu, langsung menoleh ke arah Ellen, yang memperlihatkan raut wajah memohon. Ellen paling tau sifat adiknya itu bahwa Nara paling benci menunggu, apalagi menunggu hujan reda seperti sekarang ini.

"Pulanglah duluan, kakak akan menyusul." begitulah kalimat yang terlontar dari mulut Ellen yang tidak bisa melihat raut wajah adiknya yang begitu menggemaskan.

"Makasih kak. Sesampainya di rumah nanti, aku masakin kakak nasi goreng terenak." teriak Nara sambil berlalu pergi menuju mobil teman-temanya. Melihat itu, Ellen kembali tersenyum.

Tidak berselang lama, Ellen lagi dan lagi dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja mengarahkan sebuah payung berwarna pink ke hadapannya. Ellen menoleh ke samping kanannya dan mendapati bang Nevan yang kini juga menatapnya dengan raut wajah datar.

"Yang lain udah pada pulang. Bahkan, sekolah sudah hampir sepi. Pulang sana! Pakai ini!" perintahnya dengan nada yang penuh dengan kekhawatiran sambil mengayunkan payung yang dipegangnya tadi.

Karena perintah tersebut, Ellen tanpa ragu mengambil payung pink itu dengan tatapan yang masih menatap ke arah Nevan. Begitupun dengan pria itu, juga masih menatap Ellen dengan tatapan datarnya.

Kemudian, Nevan memakai jaketnya sambil tersenyum manis dan berlalu pergi begitu saja dari hadapan Ellen yang masih mematung dengan apa yang barusan terjadi di antara mereka berdua.

'Ini disengaja atau tidak?' Ellen membatin, dia bertanya-tanya tentang keanehan yang dialaminya. 'Senyuman itu, sudah dua kali dia lakukan di hadapanku' kembali membatin dengan penuh kepenasaranan.

***

Aku tahu, ini sangat begitu mendadak

Tapi, tetap harus kulakukan

Aku ingin tahu, rasa aneh yang telah menggerogoti hatiku

Aku ingin tahu, kenapa harus dia? wanita itu?

Dia selalu mengacaukan pikiran dan hatiku

Dia harus membayar semuanya 

Dengan cara apapun, harus kulakukan

Karena hanya ini, salah satu cara terbaik

Untuk mengetahui kekacauan yang telah terjadi

*Nevan Putra Elfredo*

Better To Be Loved Than To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang