"Pst! Itu dosen baru ya?" bisik Dian ketika seorang pria jangkung berwajah dingin dengan tatapan tajam masuk ke kelas. Bertanya hal itu padaku yang sedang memainkan ponsel. Hal itu aku lakukan seraya menunggu dosen datang.
Aku mendongak spontan. Mengarah pada pintu masuk yang terdapat seorang lelaki tinggi berjalan masuk ke meja pengajar. Mataku terbelalak dengan degup jantung tak berdetak selama sekian detik.
"Heh! Kok bengong sih? Aku nanya tau!" bisik Dian lagi, kali ini lebih menuntut. Menyenggol lenganku, menyadarkanku dari lamunan.
"Kayaknya iya deh. Mungkin dosen pengganti," jawabku sekenanya.
Tapi jawabanku ini tidak menyimpang dari faktanya kok. Anyway, let me introduce him- i mean, dosen muda yang sedang kami perbincangkan.
Seperti yang disebutkan di awal, bahwa dia memang betul dosen muda. Ini kali pertama kami diajar oleh beliau. Awalnya sih ia bilang dia hanya sebagai pengajar pengganti jikalau dosen utama sedang berhalangan hadir. Namun pada kenyataannya, minggu perminggu kami selalu bertemu. Hingga kami banyak mengeluh sebab adanya ketidaknyamanan dalam belajar yang diajar oleh beliau. Sebab, cara ia mengajar sangat berbeda dengan kultur yang ada di kampus tercinta ini.
Hingga minggu minggu selanjutnya berlalu, keluhan hingga aduan mahasiswa kelas yang ia ajar terus bersuara. Bahkan di luar dari jam kelasnya pun, umpatan hingga doa serapah pun terus terdengar. Aku hanya bisa diam, meski sesekali mengiyakan dan ya... mengumpat tipis-tipis juga, hehe.
"Aku gak kuat. Aku nyerah!" serah Dian, melambaikan tangannya ke atas usai dosen muda itu keluar dari kelas setelah memberikan tugas yang luar biasa menguras mental dan tenaga.
"Aku butuh sabtu minggu yang tenang, Tuhan!" keluh Dian yang kali ini disertai tubuhnya yang melemah. Seolah tenaganya terserap habis terbawa angin.
Purnama, gadis berhijab syar'i dengan kacamata kotaknya itu hanya bisa menepuk bahu temannya-Dian. Sedangkan aku dan Yunita hanya bisa terkekeh. Aku lebih tepatnya, hanya bisa terkekeh miris dan bingung. Bingung harus merespon bagaimana keluhan yang dilayangkan Dian dan teman-teman yang lain.
Dan rutinitasku setiap hari, selepas pulang kuliah adalah mengeluh juga. Lebih tepatnya mengeluh kepada orang yang berperan sebagai pusat.
"Capek. Kamu kasih tugas tuh bisa dikira-kira gak? Kamu tuh harus inget, kamu kerja di universitas yang kulturnya seperti apa! Enggak semua kampus menerapkan kultur yang sama seperti universitas kamu dulu ya!" kataku, seraya menyandarkan tubuhku di pintu mobil selepas sampai di garasi rumah.
Ghandi, mas Ghandi lebih tepatnya, suamiku. Dosen menyebalkan yang "musuh"nya banyak di kampusku. Ia berdiri tepat di depanku. Untuk beberapa saat aku teralihkan dengan aroma tubuhnya yang menguar masuk ke indera penciuman. Masih harum, harum parfum yang aku berikan Juni lalu saat ia ulang tahun.
Mas Ghandi mengelus puncak kepalaku. "Maaf ya, tapi Mas mau kamu dan temen-temen kamu itu jadi lebih baik. Gak membiasakan diri mengandalkan AI atau sekedar mengumpulkan tugas tanpa pemahaman," katanya dengan intonasi lembut, berkebalikan dengan kenyataan tingkahnya di kampus.
Aku mendengus tapi tidak berniat untuk menghindar dari tangan besarnya yang mengelus kepalaku. Aku hanya memalingkan wajah saja. Lantas menunduk, mengusap perutku.
"Perut aku sakit tau tadi pas mata kuliah kamu," keluhku seperti anak kecil.
Mas Ghandi tiba-tiba berjongkok di depanku. Wajahnya tepat sejajar dengan perut rataku yang sempat sakit.
"Aduh, kasian. Maaf ya udah buat perut kamu sakit," Mas Ghandi lantas mengusap perutku dan menciumnya. Kembali berdiri usai melakukan aksi tersebut.
Jujur, aksinya tadi sanggup membuat dada dan perutku terisi dengan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu yang berterbangan. Aku gak expected Mas Ghandi bakal lakuin itu.
"Lain kali bisa gak jangan so keras seperti itu? Aku takut banget liat kamu galak terus tapi lembut pas di rumah. Kayak orang berkerpribadian ganda," keluhku lagi.
Mas Ghandi terkekeh. "Aku usahakan ya, cantik. Tapi aku gak yakin akan sesuai dengan ekspektasimu atau enggak," katanya sambil menarikku untuk segera masuk ke dalam rumah.
Aku menghela napas berat. Lelah rasanya membayangkan satu semester ini diajar suami sendiri yang sukaaaa sekali memberi tugas seperti deadline kerja. Ya, aku mengerti tidak seharusnya aku banyak menuntut dengan posisiku sebagai mahasiswa. Tapi asal kalian tau ya! Suamiku ini- Ah, tidak, ralat! Dosen muda kampusku ini amat sangat keji pada mahasiswa! Ia bahkan...
"Kamu tuh suka dibilang lagi balas dendam tau sama mahasiswa kampusku. Karena kalo kamu kasih tugas, kayak lagi manfaatin kesempatan untuk balas dendam karna baru lulus kuliah. Kamu ngerti kan maksud aku? Ya... singkatnya kamu ngajar dan kasih tugas tuh kayak lagi-" aku bingung ngejelasinnya kayak gimana.
"Iya... Paham kok aku, sayang. Maaf ya kalo caraku bekerja banyak bikin orang gak nyaman," katanya.
"Ya, makanya berubah dong, Mas!" aku berdiri menghadang Mas Ghandi yang hendak membuka pintu.
"Iya, diusahakan. Sekarang kamu minggir dulu, ya. Mas mau buka pintu. Memangnya kamu enggak lapar? Mas lapar, sayang. Mas mau segera makan," katanya lembutttt sekali.
Mana bisa aku ngeyel terus. Akhirnya aku memutuskan untuk menyamping, membiarkan Mas Ghandi membuka pintunya.
"Aku gak mau ngerjain tugasmu itu, ah!" aku bersidekap dada. Memasang wajah bete.
Dilihat dari ekor mataku, aku lihat Mas Ghandi menaikkan sebelah alisnya. Menatapku bingung. "Kenapa?"
"Susah, Mas! Aku gak suka!" jelasku.
"Ini loh yang mau Mas ubah dari karakter kalian. Rasa gak suka kalian dalam mengerjakan tugas yang menurut kalian berat. Mas mau kasih pengajaran yang sekiranya dapat menjadi bahan pengalaman kalian di kemudian hari. Ya, semuanya balik lagi ke diri masing-masing sih. Kalo kamu enggak mau kerjain tugas, yo wes, Mas gak maksa. Tapi jangan nangis kalo Mas gak kasih kamu nilai sesuai yang kamu mau," Mas Ghandi lantas berlalu begitu saja masuk lebih dulu ke dalam rumah. Meninggalkan aku yang menganga mendengar ucapannya barusan.
"Mas!"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecture, My Husband
ChickLitBegini ceritanya kalo kamu nikah sama dosenmu sendiri. hhh... harus pasang berapa muka ya? Kira-kira acting kita bagus enggak ya buat orang percaya?