⛓ Flashback 1

328 37 326
                                    

"Jangan lepasin cincin ini kalau lo mau selamat."

Genta menjauhkan kepalanya dari telinga Er yang masih berdiam diri. Air wajah gadis itu sangat sulit diartikan. Hanya Genta saja yang paham jika Er mengalami tekanan berat.

Teror ancaman yang tiada henti, membuatnya dengan pasrah menuruti perkataan Genta.

Di depan sana, Dewangga dan keluarga Sanjaya, tersenyum haru saat Genta telah menyematkan sebuah cincin tunangan mereka.

"Er, gimana, Sayang? Apa kamu senang?" tanya Arinna seraya menghampiri keponakannya.

Tanpa memudarkan senyumannya, Genta turut memandang Er.

Ragu-ragu gadis itu menatap lelaki di depannya. Sorot tajam dari Genta, seolah mengisyaratkan bahwa dirinya harus mengatakan seperti apa yang baru saja dibisikkan.

"Er senang, Tante," ucap gadis itu seraya menangkup punggung tangan Arinna. "Genta ... ganteng."

Najis! Er merutuki mulutnya. Meskipun tak sungguh-sungguh menerima Genta, tapi dirinya tak percaya akan mengatakan hal ini.

Senyum Genta semakin mengembang, lalu menghampiri Er untuk menuntunnya kembali ke meja makan.

"Aduh, sweet banget! Aku jadi nggak sabar nungguin mereka nikah!" harap Arinna.

Sanjaya yang mendengar praktis saja tergelak dan ikut menuntun istrinya--sama seperti yang Genta lakukan.

"Sabar dong. Nanti kalau mereka udah nikah, aku-nya yang berasa udah tua," gurau Sanjaya.

Melihat interaksi mereka membuat Dewangga hanya tersenyum tipis. Tak ada yang bisa dilakukan selain menyaksikan dua pasangan tengah melakukan adegan romantis. Dirinya kini hanya seorang diri.

Seandainya saja Asti masih ada ....

"Om, apa aku boleh bawa Er jalan-jalan?" tanya Genta pada Sanjaya.

"Udah tentu boleh!" sahut Sanjaya seraya menyenggol lengan Dewangga. "Ada bagusnya kalian berbicara berdua buat bahas pernihakan."

"Bener itu!" timpal Arinna seraya mengusap puncak kepala Er.

Genta mengangguk dan segera beranjak setelah matanya menatap Dewangga dengan sorot yang tak bisa diartikan.

"Ayo, Er!"

Melihat Genta dan Er telah berlalu, Arinna kembali tersenyum seraya memeluk lengan Sanjaya.

"Mereka udah besar!"

Di tempat lain, terlihat Aksa keluar dari rumahnya sembari membawa ransel berisi pakaian ganti dan peralatan kuliahnya. Cowok itu akan pulang esok sore dan meninggalkan adiknya yang sudah terbiasa di rumah sendiri semenjak mereka lulus SMA.

"Abang, besok kalau pulang jangan lupa beliin puding dekat kampus ya! Aku pengen banget yang rasa mangga," ucap Tika yang berdiri di ambang pintu.

Tangan Aksa terangkat untuk mengacak rambut adiknya, "Boleh, mau berapa? Terus mau apa lagi?"

Gadis itu nampak berpikir, "Beli dua! Terus beliin mie ayam juga, nanti makan bareng-bareng!"

Aksa terkekeh dan menganggukkan kepalanya. Mana mungkin ia menolak permintaan adik kesayangannya itu.

"Yaudah, abang berangkat dulu. Kalau mau tidur pintunya dikunci, terus kalau mau pergi jangan lupa kabarin abang. Oke?"

Tika mengangguk patuh dan meraih tangan Aksa untuk salim sebelum cowok itu beranjak menghampiri motor sport-nya.

Lunatic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang