20 - Ikatan Batin

107 13 9
                                    

"Harun!" Seorang pria muda yang merupakan guru mata pelajaran Akidah Akhlak kelas XI, memanggil siswa yang melamun sejak dirinya memaparkan materi.

"Run!" Arfan yang duduk di samping Harun menyikut lengan temannya yang tak menanggapi panggilan Pak Rafiq.

"Apa?" tanya Harun datar.

"Dipanggilin sama Pak Rafiq tuh dari tadi," bisik Arfan.

"Telinga kamu masih berfungsi 'kan, Harun?" Pak Rafiq menatap tajam pada Harun.

Sejak jam pelajaran pertama hingga jam pelajaran kedua, Harun terlihat melamun. Bahkan ia juga begitu gelisah. Entah kenapa perasaan cowok itu mendadak tidak enak. Ia seolah merasa ada sesuatu yang terjadi pada seseorang.

"Kamu gak nulis materi?" Pak Rafiq melihat buku catatan Harun yang masih kosong. Bahkan sejak minggu lalu pun buku mata pelajaran tersebut hanya terisi satu halaman saja. "Buku kamu juga masih kosong. Materi kemarin kamu gak nulis. Dan sekarang kamu malah ngelamun. Harun, Harun, kamu ke sekolah kayak yang gak ada tujuan aja."

"Jelas saya punya tujuan, Pak. Gini-gini saya juga niat belajar. Masih untung saya hadir, Pak," bantah Harun.

"Iya, niat kamu harusnya ditambah lagi. Dengan kamu hadir di kelas juga udah bagus, tapi seharusnya kamu juga mencatat apa yang guru sampaikan. Kalau kamu merasa ingatan kamu kuat ya gak masalah kalau gak nulis juga. Tapi kalau kamu merasa pelupa, alangkah baiknya materi itu dicatat agar bisa dibaca kembali di waktu senggang," nasihat Pak Rafiq.

"Nggih, Pak." Harun meniru gaya bicara orang Jawa. "Nanti saya pinjem buku catatan temen saya buat nyalin."

"Baik, untuk semuanya, minggu depan catatan kalian diperiksa ya. Kalau ada yang catatannya gak lengkap, kalian akan diberi sanksi. Paham?"

"Paham, Pak!" jawab seluruh siswa.

Dalam hati, mereka tentu mengutuk Harun yang kembali membuat seisi kelas terkena imbas kenakalannya. Apalagi tak banyak di antara mereka yang catatan materi Akidah Akhlak itu tidak lengkap. Tentu saja mereka akan mati-matian menyalahkan Harun. Karena semua ini berawal dari dirinya.

"Ah, gara-gara si Harun nih!"

"Kita kena getahnya mulu kalau dia bikin kesalahan,"

"Padahal aku mau nyatetnya nanti menjelang UTS, eh malah disuruh lengkapin minggu depan,"

"Bener-bener nih si Harun!"

"Gak bikin kelas ribut, malah bikin kita kena masalah!"

"Awas aja kamu, Run!"

Terdengar umpatan dari beberapa siswa yang tak terima. Karena Harun, Pak Rafiq menjadi melempar ancaman jika mereka tak melengkapi catatannya. Pembelajaran pum kembali dilanjutkan setelah Pak Rafiq menenangkan kelas penuh keributan itu. Harun yang semula duduk di depan memilih untuk pindah ke belakang, lebih tepatnya di bangku Mugi. Mereka bertukar tempat untuk sementara.

Hingga bel istirahat berbunyi, semua siswa di kelas itu berhamburan keluar kelas. Hanya tersisa beberapa orang saja yang sedang tidur dan menyalin catatan materi Akidah Akhlak. Harun mencoba untuk memejamkan matanya. Sejak tadi ia ingin tidur, tetapi selalu sulit. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada seseorang.

"Kok aku gak liat Kak Senja ya? Kemana dia?" gumamnya.

Harun yang sedang rebahan menggunakan dua kursi itu merubah posisi menjadi duduk. Cowok itu masih tetap duduk di bangku belakang. Sementara Mugi sedang mengobrol dengan Arfan. Keduanya kini pindah ke belakang dan menghampiri Harun.

"Run, ente kenape sih? Dari tadi pas pelajaran Pak Rafiq ngelamun aja terus," tanya Mugi.

"Tau nih, kayak yang lagi mikirin utang aja. Diajak keluar juga gak mau," sambung Arfan.

Harun hanya menghela napas berat. Ia sendiri bahkan tak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang jelas hanya ada satu nama yang membuatnya gelisah. Ia merasa ada sesuatu terjadi pada orang yang sedang di pikirkannya.

"Mikirin apa sih?" desis Mugi yang masih kepo.

"Kak Senja," kata Harun tiba-tiba.

"Hah?" Mugi dan Arfan saling melempar tatapan.

"Eh, aku ngomong apaan tadi?" Harun menepuk mulutnya sendiri. Ia merutuki perbuatannya yang berbicara tanpa sadar.

"Jangan di denger ya, aku cuma bercanda kok," ucap Harun sebelum kedua temannya bertanya lebih jauh lagi.

"Gak apa-apa kali, Run. Kak Senja kayaknya gak ada jadwal makanya gak ke sini," tutur Arfan.

"Kok aku ngerasa kayak ada sesuatu yang terjadi ya sama, Kak Senja," bisik Harun.

"Sesuatu apa?" tanya dua siswa yang duduk di samping Harun itu.

"Aku mana tau, namanya juga firasat," kilah Harun.

"Mungkin ada ikatan batin," sahut Arfan.

Harun tak cukup percaya dengan apa yang diucapkan Arfan. "Ikatan batin apaan, Arfan? Jangan ngaco deh, dia kan bukan siapa-siapa."

"Aku kan cuma nebak aja, Run,"

"Tapi si Rafan bener. Bisa aja itu karena kamu ada ikatan batin sama, Kak Senja," tambah Mugi.

"Ah, kalian ini ada-ada aja. Mana ada ikatan batin, aku sama dia aja gak deket," sangkal Harun.

***

"Bu!" Harun mengacungkan tangan ketika guru mata pelajaran sejarah Indonesia itu sedang menulis di papan tulis. "Izin ke toilet bentar ya."

"Silakan." Tanpa banyak bertanya, Bu Risna mengizinkannya Harun untuk keluar kelas.

Sebenarnya Harun bukan ingin ke toilet. Tapi ia merasa jenuh dengan pembelajaran yang gitu-gitu aja. Menulis lalu menjelaskan dan itu sangat membosankan. Jika guru yang lain mungkin punya metode tersendiri agar pembelajaran terasa menyenangkan. Tetapi baginya, pelajaran sejarah akan lebih membosankan jika mengandalkan metode ceramah.

Oleh karena itu, Harun memilih untuk keluar kelas. Cowok itu berjalan menuju ke perpustakaan. Tapi langkahnya justru membawanya ke tempat di mana guru piket berjaga. Di sana ada seorang gadis yang memakai kerudung pasmina denim. Meskipun ragu, ia pun menghampiri gadis itu.

"Kak Nad!" panggilnya.

Nadia menoleh. Ia terkejut saat mendapati kehadiran Harun. "Harun? Apa di kelas kamu gak ada guru?"

"Ada,"

"Terus kenapa keluar?"

"Emm ... gapapa. Aku mau ke perpus dulu." Harun berlalu meninggalkan Nadia.

Padahal aku kira Kak Senja dateng ke sekolah meskipun telat. Tapi ternyata dia beneran gak dateng,

Harun terdiam diri di perpustakaan untuk beberapa saat. Ia kembali ke kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran ketiga berakhir. Tiba di kelas, rupanya Bu Risna tak ada di sana. Pantas saja keributan di kelas itu terdengar sampai keluar.

"Kayaknya bukan dari toilet nih," sindir Ivan.

"Kamu kayak gak tau si Harun aja, Van," sambung Eko.

"Emang bukan dari toilet. Aku dari perpus," ucap Harun datar.

"Tuh kan, lagian ngapain sih pake keluar kelas segala? Biasa juga tidur kalau pelajarannya jenuh," timpal Mugi.

"Yaa, pengen cari angin aja sih." Harun berbohong. Pada kenyataannya dia sedang mencari seseorang yang sejak tadi memenuhi isi pikirannya.

"Cari angin apa cari, Kak Senja?" celetuk Marwan yang sedari tadi menyimak obrolan Harun dan teman-temannya.

***

Hallo guys! Mohon maaf up nya sedikit dulu yaa. Semoga ceritanya berkenan di hati kalian.

Jangan lupa tinggalkan jejak. Minimal kasih vote atau say hai di komen. Makasiih!

Mampir ke instagram aku yuk:
@dillaanrfdlhh_
@storysenjaa_

Senja Bersamamu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang