"Liat, Mas Juna, Keraton malah makin maju di tangan dia. Kamu ini nggak malu apa, ya? Kamu yang harusnya bikin Keraton itu lebih baik. Sekarang kamu malah di sini, diem aja nggak ada kemajuan. Mana janji kamu yang katanya mau buat Mama hidup lebih enak? Yang katanya Mama berhak dapetin tahta lagi di sana. Kamu itu cuman ngomongnya doang, nggak ada buktinya." Arjuna yang berprofesi sebagai desainer ternama di Jakarta, baru saja pulang dari meetingnya dengan klien dia, dan disuguhi omelan ibunya terhadap dirinya.
"Aku udah berusaha, 'kan, Ma. Mama sendiri tau gimana usaha aku biar aku yang naik tahta dan bukan Daneswara."
"Tapi usaha kamu itu sia-sia. Nggak maksimal. Harusnya kamu tuh punya kesadaran penuh, Mas Juna, kalau hak kamu itu udah direbut sama Daneswara. Kamu kayak legowo dan nrimo aja, padahal kamu tau ini masalah harga diri keluarga kita." Ibunya sebenarnya sudah mendapatkan hidup yang enak juga di Jakarta. Kemarin baru pulang dari Jepang bersama teman-temannya dan juga sudah merencanakan untuk pergi ke Banda Neira di minggu depan.
Arjuna tau memang ibunya ini terusir dari Keraton sejak perceraiannya dengan mendiang ayahnya. Tapi, Romo dulu masih berbaik hati untuk mengasuh Arjuna, memberikannya gelar, dan mengakuinya sebagai anaknya.
"Ya Arjuna sendiri udah nggak tau lagi gimana caranya biar Mama seneng. Toh, emang semuanya itu nggak bisa diubah, 'kan, Ma? Semua cara udah aku lakuin; aku nyoba negosiasi sama Ibuk Retno sendiri, aku mau negosiasi sama Daneswara, terus aku juga udah minta tolong sama Ajeng sendiri. Semuanya 'kan nihil, Ma." Arjuna mengeryitkan dahinya. Karena dia sungguh tidak tau bagaimana lagi menghadapi sikap ibunya yang kian hari kian menjadi.
"Apa yang Mama nggak dapet, semua orang juga nggak boleh dapet, itu prinsip yang Mama pegang dari dulu. Kalau Mama nggak bisa berhasil sama Romo kamu, istri beliau juga nggak boleh berhasil sama beliau. Dan memang ternyata Romo kamu dipanggil duluan sama Tuhan, 'kan." Ibunya menoleh dengan tatapan dinginnya. Kadang, Arjuna bertanya; apakah dia memang tokoh antagonis di sini? Atau semua ini dia lakukan karena ibunya? Karena jujur saja, Arjuna tidak memiliki prinsip yang seperti ibunya.
Ketika Arjuna tau dia kalah, maka dia tau dia memang tidak bisa. Sekuat apapun dia mencoba, seberkuasa apapun abdi dalem yang ada di pihaknya, ketika dia kalah, maka tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
"Arjuna masuk kamar dulu, Ma."
"Ajeng." Langkah Arjuna terhenti ketika mendengar nama perempuan itu. Arjuna tidak menoleh pada ibunya, tapi dia menunggu sang ibu melanjutkan ucapannya. "Kamu nggak menghubungi dia lagi? Siapa tau, dia—orang baru dan tidak tau apa-apa soal Keraton itu—bisa kamu gunakan untuk mencapai tujuan kita."
Arjuna ingat momen di mana dia memberikan cincin pada Ajeng dengan harapan bodoh bahwa Ajeng akan meninggalkan Daneswara demi dirinya, sehingga pernikahan mereka tidak terjadi.
"Ajeng bukan wanita kayak gitu, Ma."
***
Persiapan satu suro ternyata lebih repot dari yang Ajeng bayangkan. Jika sebelumnya, Ibuk masih sering membantu Ajeng dalam setiap acara yang dilakukan di Keraton, kini Ibuk lebih banyak beristirahat dan menyerahkan semuanya pada Ajeng. Ajeng dan Danes sungguh kalang kabut karena ini kali pertama mereka memegang acara sebesar ini sendirian. Ya walaupun memang banyak kerabat dan abdi dalem sepuh yang membantu.
"Acara satu suro kali ini, kayaknya lebih baik kalau bukan cuman satu acara saja deh, Kanjeng Gusti," ujar Ajeng di tengah rapat besar untuk membahas acara satu suro yang akan diadakan sebentar lagi.
Para Abdi dalem dan semua orang yang hadir di sana, langsung menoleh pada Ajeng yang duduk cukup jauh dari kursi Daneswara. "Keraton kita ini sudah mendapatkan banyak atensi dari berbagai pihak. Apalagi ditambah dengan pernikahan anak Bapak Presiden yang rencananya diadakan di sini. Sangat disayangkan sekali jika kita tidak memanfaatkan kembali momen ini."
"Ada ide yang bagus yang kamu punya, Kanjeng Putri?" tanya Daneswara sambil menatap Ajeng dengan begitu intens hingga Ajeng sendiri sempat gerogi di tempatnya.
"Pameran batik Keraton. Saya punya ide itu."
Beberapa orang di ruangan langsung mengeryitkan dahinya tidak mengerti. Namun, Danes yang tau bahwa istrinya itu selalu menyiapkan hal-hal dengan ide yang luar biasa, dengan penasaran kembali bertanya, "Boleh dijelaskan lebih lanjut maksud kamu?"
"Keraton ini punya batik khusus yang memang tidak begitu diketahui publik, bukan? Saya sudah menjalankan Kelas Membatik beberapa bulan yang lalu, dan ternyata banyak sekali orang yang berminat. Buktinya, pengunjung ke Keraton menjadi meningkat dalam beberapa waktu, terus ada peningkatan bahkan sampai saat ini." Ajeng menjelaskan semuanya dengan lugas dan tanpa ragu. Danes bahkan sampai tidak sadar bahwa dia sudah tersenyum dengan begitu bangga pada istrinya sendiri.
"Tapi, Kanjeng Putri, Satu Suro ini adalah peringatan yang sakral. Begitu sakral sampai masyarakat Jawa begitu takut akan malam ini. Kita tidak bisa mencampurkan hal-hal yang sakral bagi kita, dengan modernisasi yang bahkan kata Kanjeng Putri bisa membawa perubahan yang lebih banyak lagi bagi Keraton kita ini."
Ajeng tersenyum dan mengangguk paham dengan sanggahan dari salah satu abdi dalem sepuh di rapat itu. "Saya mengerti, Pak. Sangat mengerti. Kita bisa melakukannya satu hari setelah Satu Suro dilaksanakan. Saya paham seberapa penting dan sakralnya upacara itu, dan saya tidak mungkin berani dengan lancang menganggap sepele hal seperti itu."
"Persiapan Satu Suro saja belum rampung, Kanjeng Putri. Mana mungkin kita bisa mempersiapkan dua acara besar sekaligus? Kecuali kalau Kanjeng Putri sendiri yang turun tangan." Ajeng kembali mendapatkan sanggahan.
Ajeng akan membuka suaranya, namun lebih dulu Daneswara membalas, "Sejak awal, memang kami berusaha menyelesaikan persiapannya lebih cepat, Pak. Saya tau Bapak memang khawatir, tapi saya dan istri saya tau kami belajar lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Tidak perlu khawatir."
Ajeng tersenyum menatap Danes dan Danes membalasnya dengan tatapan yang begitu hangat.
"Memangnya, Kanjeng Putri, kalau boleh tau, bagaimana rencana kamu soal acara itu?"
Ajeng mengangguk dan kembali menjawab, "Saya akan bekerja sama dengan beberapa abdi dalem yang khusus membuat batik ini sejak dulu. Lalu, saya akan menghubungi Raden Mas Arjuna yang memang berprofesi sebagai desainer untuk membantu acara ini. Selain menjadi acara untuk mengenalkan batik kita, ini juga bisa menjadi silaturahmi kita semua dengan para kerabat lain di luar Keraton."
Daneswara tidak tau dari mana Ajeng mendapatkan ide seperti itu. Lalu, dia mengeryitkan dahinya, seolah tidak setuju dengan ide Ajeng kali ini.
"Kamu serius, Kanjeng Putri?"
"Sangat serius, Kanjeng Gusti."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Garwa (Selesai)
RomanceKisah Ajeng Adiningrum dan Raden Mas Daneswara Adhinata melalui pernikahan yang dijodohkan oleh keluarga keraton Jawa.