Tora mengulurkan tangannya dan menuntunku memasuki gondola—kereta gantung—yang akan membawa kami menikmati panorama Ancol. Di dalam kabin, kami hanya berdua saja. Sementara kabin yang lain berisi lebih dari dua orang. Dan, seperti yang seharusnya kabin akan diisi penuh sesuai muatan, kemudian barulah tour dimulai.
“Aneh. Cuma kabin kita yang isinya dua orang. Yang lain rata-rata 6 orang, sesuai muatan.”
“Aku menyewanya.”
“Oh ya?”
“Ya. Kita berdua butuh privasi. Setidaknya, selama 20 menit di dalam sini.”
Kami naik gondola dari stasiun A, tepat di bagian belakang Dufan. Dari ketinggian 21 meter diatas permukaan laut, sebenarnya aku bisa saja menikmati pemandangan yang ada di bawah kami. Bahkan matahari tenggelam, yang hadirnya banyak dinanti-nanti orang.
Tapi kini, aku di sini bersama pria yang sempat mengisi ruang hatiku. Sunset pun bagai tak menarik lagi untukku. Daya tarik Tora lebih kuat daripada yang aku bayangkan.
“Ini,” katanya sembari menyodorkan aku selembar kartu undangan.
“Apa?”
“Buka,” perintahnya.
Sebelum membukanya, aku membolak-balikkan kartu undangan tersebut. Berharap dapat sebuah petunjuk. Dan, benar saja aku mendapatkannya. Pada sampul kartu undangan tersebut, tertulis sebuah nama yang kini tak asing lagi bagiku.
“Abel? Ini kartu undangan ulang tahun anak kamu?”
Tora menghela napasnya, bersamaan dengan itu kepalanya tertunduk. “Ya.”
“Kenapa kamu kasih aku undangan ini?”
“Itu untuk kamu,” katanya. “Kartu undangan itu adalah alasanku, Nim.”
“Alasan?”
“Ya. Alasan kenapa aku pergi ke Jakarta satu tahun yang lalu. Karena Abel berulang tahun di bulan November.”
Aku bergeming.
“Febba menemuiku, untuk memberikan undangan itu. Dia memintaku untuk datang ke ulang tahun Abel yang ke 8 tahun,” ia menarik napas. “Pada saat itu, aku binggung harus bagaimana. Pergi menghadiri ulang tahun Abel, atau tetap di Batu.”
“Kamu pergi,” kataku sedih.
“Aku pergi, Nimara. Karena Febba membujukku dengan kartu as-nya.”
“Maksud kamu?”
Tora mendongak menatapku. Kedua matanya berkilat. “Hak asuh Abel.”
Mulutku menganga secara reflek. Takjub dengan perkataannya.
Benarkah Febba akhirnya melimpahkan hak asuk Abel kepada Tora? Setelah berbulan-bulan Tora berjuang, akhirnya Febba memberikan hak asuh Abel pada ayahnya.
“Karena hal itu Nimara, aku nggak bisa berkata tidak. Bagaimana pun, aku menginginkan anakku.”
Setelah bercerai, hak asuh Abel memang berada di tangan Febba. Belum lagi, Febba memboyong Abel ke negara asal suaminya—waktu itu. Brunei Darussalam. Karena keterbatasan, Tora tak dapat bertemu lagi dengan Abel. Komunikasi yang terjalin hanya via telepon atau skype. Aku tahu bagaimana perjuangan Tora demi dapat waktu berkualitas dengan Abel.
Aku sendiri tak habis pikir, bagaimana rasanya jika kita dapat mendengar suara, melihat rupa, tapi tak bisa bersentuhan sama sekali. Mungkin, amat sangat tersiksa. Dan Tora berteman dengan siksaan itu tiap kali melakukan video call dengan anaknya.
“Aku—”
“Setelah hak asuh Abel dilimpahkan padaku, disaat itu pula Febba menawarkan bantuan padaku. Modal mendirikan usaha,” jeda sejenak. “Suami Febba, dia yang meminjamkan aku modal untuk membangun resto rawon malang itu, Nim. Tapi, dengan satu syarat. Aku harus membuka usahaku di Jakarta.”
KAMU SEDANG MEMBACA
NOVELET : ABOUT. ☑️
NouvellesKetika dihadapkan dengan tugas akhir menyusun skripsi, Nimara meminta bantuan salah seorang anggota keluarganya untuk mencarikan narasumber super kompeten di bidangnya untuk ia wawancarai. Bukan hanya memiliki segudang pengalaman, Tora juga memiliki...