Tentang Luka

99 15 2
                                    

"Ayah?"

Perlahan aku duduk di kursi sebelahnya.

"Apa yang bisa Tikah bantu?" Bahkan sekuat tenaga pun aku menahan tangis, suaraku tetap saja bergetar. "Tikah bingung melihat Ayah dan Ibu seperti ini," ucapku seraya memeluk bahunya yang bidang.

Sesaat Ayah bergeming. Menundukkan kepala, menatap tangannya yang memukul meja tadi. Tangan itu terlihat memerah dan bergetar. Pelan aku raih tangan itu.

"Ayah ga akan ikuti kemauan Ibu, 'kan?"

Ayah masih terdiam. Sekali ini, dia kalah. Menyerah pada emosi yang mungkin selama ini sudah dia tahan. Tubuhnya terlihat menegang dengan kepala tertunduk dalam-dalam.

"Ayah?" Aku mulai merengek.

Sesaat kemudian, Ayah mendengkus. "Ayah minta maaf, Nak. Ayah memang salah," ucapnya pelan. "Selama ini, Ayah pikir semuanya baik-baik saja. Tapi ternyata ...." Setitik air mata jatuh di pipi tua itu. 

Aku beringsut, mendekat seraya mengulurkan tangan. Kuusap pipi tua itu. "Ayah tidak akan menuruti kemauan Ibu 'kan? Kalian ga akan bercerai, 'kan?" Aku tatap lelaki tua itu dengan wajah penuh harap.

Ayah mengangkat kepala, menatapku dengan mata dan pipi yang basah.

"Ayaaahhh?" Aku kembali merengek seraya menyandarkan kepala di bahunya. Ayah tertawa. Tawa yang getir.

"Putri Ayah sudah besar. Sudah menjadi istri. Bahkan mungkin sebentar lagi jadi ibu. Tapi masih saja suka merengek," ucapnya seraya menepuk pipiku pelan-pelan.

"Aku ga mau kalian bercerai. Aku ga ikhlas," ucapku pelan. Tangis yang sejak tadi aku tahan pun, perlahan tutun. "Tolong, Ayah, bertahanlah. Demi kami. Tolong."

Ayah mendengkus. Dipandanginya kembali tangan yang dia pakai untuk memukul meja tadi. Sudah tidak lagi gemetar, tapi aku yakin, tangan itu pasti terasa sakit sekarang.

"Ya. Ayah akan coba bertahan," desisnya pelan disertai helaan napas yang panjang.

Aku terisak. Menciumi tangan Ayah seraya terus berkata, "Terima kasih, Ayah. Terima kasih."

Di balik pintu, di belakang gorden transparan kesayangan Ibu, aku melihat dua tubuh tinggi besar mematung di sana. Mungkin, mereka pun sedang menitikkan air mata, sama seperti kami di sini.

***

Wangi telur, kecap, dan bawang yang beradu minyak panas, terhidu penciumanku–juga penciuman Reno, mungkin–pagi hari ini. Dia kembali tertidur pulas seusai shalat Subuh tadi. Kelelahan karena menyetir mobil tadi malam, membuatnya kembali terlelap.

Tadi malam–sangat larut malam–aku dan Reno memutuskan pulang ke rumah Mama–ibu mertuaku–di Cimahi. Dengan alasan kangen Mama, dan janji kalau keesokannya kami akan datang lagi, mereka pun mengizinkan kami pergi. Tentu saja dengan bujukan yang alot dan syarat yang banyak. Salah satunya, membawa pulang nasi goreng buatan Mama ini.

Masih dengan mata setengah tertutup, aku pun beranjak dari tempat tidur. Menibggalkan Reno yang masih terlelap, aku melangkah mengikuti arah wangi itu berasal. Menikmati rasanya, menjadi tujuan utamaku saat ini.

"Ah, laparnya!" Aku hempaskan tubuhku di kursi makan, lalu menyesap dalam-dalam wangi yang tercium enak itu.

Suara tawa Mama terdengar. Begitu renyah dan merdu. Aku pun membuka mata lebar-lebar.

“Minimal, bangun dulu. Baru bilang lapar!”

Aku tertawa. "Hmm ... wanginya bikin melek." Kembali kuhidu sepiring nasi goreng di hadapanku, lalu dengan tak sabar menyambar sendok yang disimpan di tengah meja.

KALAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang