'Ragu, aku menatap rumah di hadapanku. Antara ingin terus melangkah maju, atau kembali pulang. Namun, bayangan seseorang kembali berkelebat di pikiranku. Rasa penasaran yang semakin besar, ditambah dengan amarah yang sama besar. Keduanya berbaur menjadi satu. Aku ragu. Haruskah pergi menuntaskan rasa penasaran dan emosiku? Atau kembali ke rumah, lalu berdiam diri, menganggap semuanya tidak pernah terjadi? Seperti yang biasa aku lakukan.
Tapi kalau aku terus diam, lalu kapan semuanya akan berakhir?'
Aku tertegun. Dengan tak sabar, kubuka halaman berikutnya. Namun ....
"Hanya itu? Tanpa keterangan apa pun?"
Aku menggelengkan kepala. "Bener-bener hanya itu," ucapku seraya menunjukkan halaman buku yang baru saja kubaca ke layar ponsel.
"Mungkin ga, ini ada hubungannya dengan ingatan Abang saat mereka bertengkar?"
Jaya tertegun. Dia melepas dasi di lehernya, lalu mulai membuka kancing lengan bajunya. "Coba lanjut kamu baca. Telpon aku kalau ada sesuatu. Aku mau mandi dulu."
Aku mengangguk lalu mengakhiri panggilan video call kami.
***
"Tapi kalau aku terus diam, lalu kapan semuanya akan berakhir?"
Mencoba menebak maksud tulisan itu, ternyata benar-benar membuatku kesal. Apa yang saat itu mau Ibu akhiri? Pernikahan ini juga? Atau mungkin perselingkuhan Ayah? Tapi, dengan siapa Ayah berselingkuh?
"Ibumu ga pernah cerita. Dia cuma bilang, dia kalah saat itu." Aku sengaja menghubungi Mama menanyakan hal ini. "Ga mau nanya langsung ke Ibu?"
Aku tertegun. "Sepertinya ngga, Ma. Ibu terguncang waktu aku tanya kemarin."
Lama kami sama-sama terdiam. Hanya gemuruh halus napas Mama di telinga yang tertutup gagang telepon yang aku dengar.
"Gini aja deh, Tik." Suara Mama memecah kebisuan.
"Ya, Ma?"
"Nanti kalau Mama ingat sesuatu, Mama hubungi kamu."
Aku mengangguk. "Makasih ya, Ma." Dan hubungan telepon kami pun terputus. Aku pun kembali tenggelam dalam lamunan. Mencoba mengingat kembali kejadian lampau itu, mencoba merangkai kepingannya menjadi sebuah jawaban.
***
Ibu terlihat cantik hari itu. Gaun hitam dengan ikat pinggang putih yang dia kenakan, terlihat cocok sekali dengan sepatu pantofel coklat mudanya. Rambutnya yang panjang dia ikat ke belakang, lalu kemudian dia tarik ke depan melalui lekuk lehernya, diam di atas bahu. Lama dia tertegun menatap kami. Sebelum akhirnya dia menurunkan tubuh, menyejajarkan.
"Kalian mau dibeliin apa Ibu pulang nanti?"
Aku tersenyum sendiri mendengar suaranya yang terasa asing. Juga kalimatnya yang terdengar aneh.
Alih-alih menjawab pertanyaan Ibu, aku malah menghambur memeluknya. Hampir saja. Tinggal sedikit lagi, kami pasti terjerembab. Andai saja saat itu Ibu memakai sepatu hak tinggi, aku yakin, kami berdua sudah berguling jatuh ke tanah.
"Hei!" serunya lembut. "kalau Tikah ga mau Ibu pergi, Ibu ga akan--."
"Tikah janji, akan jaga Fatma sampai Ibu pulang," bisikku tanpa melepas pelukan. Ibu pun tertawa pelan.
Pintu rumah sudah diketuk. Rona ragu yang tadi terlihat di wajah Ibu, perlahan memudar. Aku melihat luapan rasa percaya diri di senyum tipis yang tersungging di wajahnya. Hanya butuh beberapa puluh detik untuk menunggu, pintu itu pun terbuka lebar, selebar senyum yang ditunjukkan si empunya menyambut kedatangan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAH
Romance'Bukan kesabaran yang menuntutku untuk kuat. tapi senyum yang terukir di setiap malam gelap dan sunyi. karena sejatinya, seorang ibu tidak boleh egois. dia harus kuat, bertahan, berjuang, dan tetap bersemangat kalau akhirnya dia menyerah kalah, buk...