Kembali ke masa dimana sekolah menengah begitu menyenangkan bagi sebagian murid. Ghisa memandang redup sekolahnya dahulu dari halte bus yang terletak di seberang jalan. Beragam perandaian menyatu dalam benak yang dipenuhi rasa jengkel sekaligus muak. Ia muak terlibat dalam perkara yang sama seperti tahun lalu. Saat dimana dia yang harus bertanggung jawab atas jahilnya Sunu pada siswa pun siswi yang tengah berlatih drum band di lapangan.
Hari itu, belum ada satu semester, baru juga tiga bulan Sunu pindah ke sekolah yang sama dengannya. Tapi Ghisa sudah dibuat pengang telinga atas kelakuannya yang menghebohkan kelas ketika siang sangat terik. Masing-masing siswa yang tengah belajar mendadak menyembulkan kepala dari jendela dan saling bersahutan soal motor yang dibawa Sunu begitu bising. Selain itu, sebagai pengarah siswi color guard dan sebagai yang tertua dalam tim drum band yang tengah ditinggal pelatih pergi keluar kota pun harus berani menegur Sunu yang tengil dan jahil itu supaya berhenti beraksi dengan motor sport-nya.
Jika bukan karena berbagai sorak sorai mengeluh dari semua orang, maka tidak mungkin baginya untuk menarik Sunu yang telah turun dari motor dan mengajaknya pergi ke green house seperti saat pertama kali. "Bisa nggak.. jangan ngulah?" keluhnya seraya menghela napas dalam. Dia betulan sudah muak, sampai-sampai memijit kedua pelipis yang tegang. Pening mendera untuk sesaat, beruntung ia masih sanggup mengontrolnya.
"Dari awal gue udah bilang, gue bukan orang baik."
"Bukan orang baik yang nggak paham tata tertib dan berlaku seenaknya? Bersikap nakal dan sok sangar gini? Lo berlaku gitu biar apa?!" tukas Ghisa geram pada Sunu yang mendongak ke atas, berlagak tak peduli dengan teguran Ghisa sedari tadi. Tak lama dia melangkah maju seraya melipat lengan di depan dada.
Sunu menyahuti, "Biar lo bisa bujuk keluarga gue buat batalin perjodohan ini."
Di lain sisi, Ghisa terkekeh. Ia menertawai pernyataan itu yang mana begitu menyedihkan untuk didengar. "Status lo yang anak orang tua berada aja nggak bisa ngebatalin ini. Apa kabar gue yang cuma anak seorang sopir, Sunu?" tanya gadis itu sarkas.
Ia mengimbuhi, "Yang ada di kepala gue waktu itu, Nu. Cuma setuju supaya setidaknya Bapak nggak dibebani hutang. Akibatnya, gue harus ngasih keyakinan ke Ibu gue supaya nggak terbebani rasa bersalah karena harus rela anak perempuan pertamanya dijodohin sama anak laki-laki yang belum jelas karakteristiknya. Apa bahkan pernah ada pemikiran itu di kepala lo, Nu?" Dapat terdengar emosi Ghisa tersulut mulai dari sini.
"Bentar-bentar, kenapa jadi lo yang menggebu-gebu di sini deh? Kalau memang nggak nyaman dengan dijodohin, ya harusnya lo tolak dong waktu itu?"
Ghisa menghela lelah, dia sudah muak dan enggan mendebat lagi. Mulai sekarang ia harus membiarkan Sunu bertingkah semaunya, toh itu bukan urusannya 'kan? Jadi, pergilah dia membiarkan Sunu merasa diacuhkan.
Mungkin nanti, semua ini akan berakhir dengan lebih baik. Meskipun entah kapan, setidaknya Ghisa dapat mengangkat sedikit beban Bapak, juga beban Ibu. Lagi, dia jarang mendengar cekcok semenjak kedatangan Pak Tri Utomo bersama keluarga. Sekalipun tujuannya mencengangkan, dengan menjodohkan anaknya dengan Ghisa, tapi itu sangat membantu kedamaian dalam keluarganya. Bahkan kedua adik laki-lakinya dapat tertidur dengan tenang, belajar dengan riang dan bermain sepuasnya, layaknya anak kecil sepantaran mereka.
"Ghisa!"
"Eros.."
Titik air itu melebur jatuh menyusuri sudut mata, lalu tulang pipi dan berujung pada dagunya. Ghisa lemas, ia tak sanggup menatap dengan jelas. Satu hal yang dia tahu hanyalah Eros ada di depannya dan itulah saat penuh syukur dalam hidupnya. Tak lagi tenggelam dalam masa kelam menatap nanar sekolah menengahnya di seberang, kini Eros berdiri penuh peluh sekaligus cemas atas kondisi psikis Ghisa yang duduk sendirian di halte bus.
Telat barang sedetik saja, boleh jadi Ghisa akan menyeberangi jalan raya di depan matanya sembari menangis kencang jika Eros terlambat hadir di hadapannya.
"Ghis, semua yang terjadi sekarang bukan tanggung jawab lo. Bukan, Ghisa. Itu kesalahan dia karena bersikap sok keren dengan jadi seorang biang kerok. Bukan salah lo, bukan juga kewajiban lo ngurus dia yang kurang ajar." Kalimat itu, kalimat yang sangat menenangkan jiwa Ghisa saat ini. Jiwa yang kesepian dan penuh rasa bersalah semenjak usianya 7 tahun.
Kurang lebih satu jam, Eros dengan sabar menggenggam tangan Ghisa sepanjang duduk menunggu sore menjelang. Riuh ramai siswa-siswi pulang sekolah dari SMA yang pernah mereka lalui itu seakan nostalgia. Mungkin bagi Eros, kenangan semasa menginjak remaja labil seringkali buatnya terkekeh geli. Atas cinta monyet yang pernah terjadi, atas masa kejayaannya bermain basket bersama timnya sampai tingkat nasional, serta atas kebandelannya sering menyontek saat mengerjakan tugas.
Namun, bagi Ghisa, segala soal sekolah menengah adalah drama paling mengerikan yang pernah ia lalui.
"Udah?"
"Apa?"
"Nangisnya, udah?" Usai mendapat anggukan dari sepupunya, Eros bangkit. "Ayo, pulang."
"Sunu ... gimana?"
Dia lupa, dalam pikiran Eros hanya memedulikan Ghisa. Maka dari itu ia melupakan brengsek satu itu supaya Ghisa lebih tenang, justru yang ada gadis ini masih saja peduli pada lelaki bajingan satu itu. Jelas sudah Ibunya menentang Ghisa ikut campur atas kecelakaan yang Sunu alami, tapi di sinilah Eros harus sanggup mengajak Ghisa pulang apapun yang terjadi selanjutnya. Toh, Sunu sudah diperiksa, mendapat saran dari dokter untuk rawat jalan, pun perkara kecelakaan tidak sampai di adili secara hukum karena sudah diatasi oleh Om Tri Utomo. Jadi, buat apa Ghisa repot mengkhawatirkan Sunu setelah semua itu terlewati?
"Sunu dikurung di rumah dan itu udah bukan kuasa lo buat ikut campur apalagi kasihan sama dia, Ghisa."
"Tapi Ros, emang nggak apa-apa ya gue berhenti cek kondisi dia di rumah Om-nya?"
"Enggak apa-apa. Lagian, loudah diterima buat jadi relawan ke Lombok lusa, 'kan? Mending lo siap-siap buatpergi ke Lombok, kesempatan nggak datang dua kali, Ghis. Jangan sampe lo nyeselbisa pergi dapet pengalaman itu dan bebas berbuat apapun di sana sesuai targetlo di usia ini sebelum lulus kuliah." Apapun perkataan Eros, Ghisa tampakmengerti, tapi tak bisa dipungkiri sorotnya masih pilu. Ada satu yang begitumengganjal dalam dadanya.
---
iya, double update. sekarang lagi mikir plot selanjutnya :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
Teen FictionBaru juga berusia 18, tapi dia harus menjadi objek untuk membayar lunas hutang sang Bapak pada rekan kerjanya. Namanya Ghisa dan dia tidak terima dijodohkan sebagai ganti dari sekian uang yang harus dibayarkan. Hingga tahun berganti, perjodohan itu...