Adakalanya menjadi anak perempuan pertama ingin menghabiskan waktu sendiri di kamar tercinta. Sebab hanya kamarnya saja yang tahu jatuh bangun dari pagi ke pagi lagi dalam menjalani hari. Terutama dalam menimba ilmu, ia harus rela mengorbankan jam tidur malamnya menjadi lima dari delapan jam pada umumnya. Setidaknya ia harus belajar tambahan pukul dua pagi dan lanjut bersiap untuk berangkat sekolah karena memang demikianlah rutinitas yang paling tepat untuk diterapkan.
"Udah pulang toh."
"Udah, Bu. Gimana?" sahutnya pada sang Ibu yang sudah menenteng setelan baju rapi di kedua tangan. Tiba-tiba saja perasaannya sudah tak enak.
"Kamu mau pake yang mana, Ghis?" Kala sang putri mengernyit, barulah Ibunya menjelaskan singkat. "Nanti malam ada bos Bapak waktu dulu kerja di luar kota mau dateng ke rumah, kebetulan beliau juga pindah ke kota ini. Jadi, Bapak bilang kita semua harus pakai pakaian rapi."
"Terserah Ibu aja bagusnya yang mana. Ghisa ngikut."
Begitulah, Ghisa melanjutkan langkah menuju kamar mandi. Bebersih diri setiap pulang sekolah adalah wajib, begitu kata sang Ibu. Maka mana mungkin dia tak patuh. Menjadi panutan bagi adik-adiknya yang masih kecil sudah menjadi makanan hari-hari. Jika ada satu titik saja kebiasaan buruk muncul, maka tamat sudah nasibnya menjadi bulan-bulanan di rumah setiap waktu sampai beliau bosan mengungkitnya.
Sore menuju malam sungguh tak terasa, tetapi itu hanya sementara apalagi semenjak pukul 7 tepat, perasaannya berkecamuk tak nyaman. Terusik atas suara nyaring klakson mobil di luar rumah. Gerbang yang dibuka oleh sang Bapak, pekarangan yang dipenuhi deru mesin mobil. Memang sejenak terdengar mewah dan keren, tapi begitu Ghisa ikut sang Ibu menyambut kedatangan tamu. Ia sudah salah tafsir atas keramahan dari mereka. Apalagi pada seorang lelaki sebayanya yang berwajah masam dan terus menerus memandangnya tak suka.
Jamuan yang dikiranya tenang perlahan sirna begitu sang Ibu menggenggam sebelah tangannya. Kedua netra beliau berkaca-kaca mendengar penjelasan antara Bapak dan Pak Utama.
"Kalian berdua, kami jodohkan."
Sumpah! Ghisa ingin sekali lari masuk ke dalam kamar, tapi sopan santun menahannya untuk tetap mendengar meski keputusan pada akhirnya sangatlah tidak adil. Terutama bagi Ghisa, karena dia seolah menjadi objek saja di keluarga ini. Hati Ghisa sudah tiada harganya, ia tampak lemah karena hanya bisa diam mendengarkan kelanjutan perbincangan serius ini.
"Jadi, mulai sekarang kalian berdua sudah sepakat akan dijodohkan, ya. Semuanya sudah tertera di sini."
Selembar kertas di dalam map biru tua itu menjadi alasan setitik air mata luruh jatuh membasahi pipi Ghisa. Ia memandang itu dengan sesal serta sesak yang tak sanggup terbendung lagi.
"Saya harap perjodohan ini bukan hanya berimbas baik ke urusan hutang saja, tapi juga baik ke dalam hubungan bersama. Kebetulan Sunu juga akan masuk ke sekolah yang sama dengan Ghisa. Jadi, mohon bantuannya, ya, Ghisa?"
Tahu apa jawaban Ghisa? Dia hanya diam, mengedipkan mata lalu melihat ke arah anak mereka, yaitu Sunu Trio Utama.
"Sunu bisa sendiri kok, Mi." Dari situlah, Sunu sudah memberi kesan pertama yang kurang ramah, tetapi justru melegakan bagi Ghisa. Sebab itu artinya dia bebas dari tanggung jawab atas lelaki yang sepertinya sudah dewasa itu.
Sudah begitu, kedua keluarga di ruang tamu ini tak berhenti di sana. Mereka melanjutkan perbincangan ke entah topik yang Ghisa tak minati. Begitu pula adik-adiknya yang sudah mengantuk dan masuk ke kamar bersama Ibunya. Berikut Sunu yang ijin keluar ke pekarangan untuk mencari angin, tapi berujung Ghisa diminta sang Bapak untuk menemani. Kepada tamu, mereka harus bersikap demikian. Begitulah petuah Bapak tiap saat.
"Adek masih pada kecil, tapi rela aja ya anak pertamanya dijodohin."
Itu kalimat yang menjengkelkan. Ghisa sontak menoleh tak terima. "Maksudnya?"
"Sorry, kesinggung ya? Haha, makanya jadi anak jangan penurut banget. Sesekali nolak kalau disuruh."
Ghisa mengedipkan kedua mata. Antara tak menyangka dan menyadari satu hal. Tak menyangka bahwa Sunu ini sok tahu dan menyadari Sunu itu kekanakan sekali. Lekas ia bangkit, berdiri menghadap lelaki itu.
"Lo sok tahu. Kayaknya, lo belum paham makna berbakti sama orang tua, ya? Kasihan gue."
---
Sunu menggerutu begitu masuk ke dalam kamar, lelah menyambangi seluruh badan. Ingin bangkit kembali 'tuk mandi saja malas sekali. Hari ini semuanya di luar duga, bukan hanya Sunu, tapi sang Mami pun hanya bisa menuruti kemauan sang Papi yang super mendadak. Apalah pula dijodohkan di saat ia baru akan menginjak usia 17 tahun ini. Sungguh mengerikan.
Terlebih saat tahu dengan siapa ia dijodohkan, Sunu hanya bisa menghela mengingat kejadian tadi. Seumur-umur ia belum pernah terima diomeli oleh perempuan mana pun selain Mami dan adiknya sendiri. Baru tadi seorang Ghisa –perempuan tampak macam preman– itu berani sekali mengatainya tak tahu arti berbakti pada orang tua.
"Mas Sunu!"
"Apaa, Melati?"
"Kata Mami, calon tunangan Mas cantik kayak Melati, ya? Ceritain dong Mas, Melati penasaran." Mendengar yang demikian, Sunu tak tahan untuk mulai mengomel dan membandingkan antara adiknya ini dengan Ghisa yang menyebalkan.
Melati di satu sisi, sudah siap duduk di samping Sunu. Kasur empuk itu akan menjadi saksi seorang Sunu mengomel panjang lebar. Tapi belum sempat Sunu buka suara, sang Mami masuk dan menatap mereka berdua penuh selidik. "Melati tidur yuk, Mas Sunu besok masuk sekolah baru pertama kali, lho. Harus tidur sekarang biar nggak telat besok. Kamu mandi dulu sana, Nu. Dari tadi kok masih pakai pakaian tadi, sih."
Adalah iya jawaban Sunu atas titah yang diberi Mami meski Sunu bangkit sambil menggerutu dan menirukan cara Maminya mengomel. "Oh ya, Nu. Besok berangkat, kamu bakal agak susah cari Ghisa. Soalnya dia udah kelas 3, udah mulai sibuk persiapan ujian dari semester awal."
"Hah.. Ghisa udah kelas 3, Mi? Lebih tua setahun dari Sunu dong?"
"Iya, baru tahu? Padahal pas kenalan udah bilang lho. Dasar nggak dengerin, sih."
Astaga, Sunu rasajantungnya hampir merosot jatuh ke bawah begitu tahu Ghisa Zela Sadewa itu lebihtua setahun darinya. Jika begitu adanya, ia tak bisa bersikap sembarangan.Secara tidak langsung reputasinya bakal terancam jika ketahuan berhubungandengan senior di sekolah padahal baru pindah.
---
mari akhiri dengan meme untuk bagian pertama ini
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
Genç KurguBaru juga berusia 18, tapi dia harus menjadi objek untuk membayar lunas hutang sang Bapak pada rekan kerjanya. Namanya Ghisa dan dia tidak terima dijodohkan sebagai ganti dari sekian uang yang harus dibayarkan. Hingga tahun berganti, perjodohan itu...