"Aku bagaikan burung yang kedua sayapnya patah, tidak bisa terbang, dan harus terpaksa terkurung dalam sangkar dengan menahan sakit pada sayapnya."
—Ayyara Nindia Humaira—
"Anak tanpa nasab sepertimu tidak pantas di miliki!"
Cacian serta bentakan dari mulut paruh baya bernama Kinan barusan berhasil menembus dan menggores hati Ayyara, seorang gadis yang terlahir tanpa Ayah dan sebuah bentuk kesalahan orang tuanya yang belum memiliki ikatan halal.
"Apa salah Ay, Mah?" Gadis itu dengan wajah tertunduk masih mencoba menanyakan, entah berapa kali pertanyaan itu keluar, tapi Kinan sudah tidak mau lagi menjawabnya.
"Kamu terlahir saja, itu sudah menjadi kesalahan, Ayyara! Kesalahan yang sangat besar dari laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab!"
"Sudah berapa kali Mama bilang, jangan pernah kamu keluar rumah, itu hanya akan membuat malu Mama memiliki anak tanpa nasab seperti kamu."
Lagi-dan lagi, hati Ayyara bagai tertusuk ribuan jarum, sangat menyakitkan ucapan dari sang ibu, ini bukan keinginannya, melainkan sudah menjadi takdir yang harus ia jalani.
"Ay juga ingin melihat semesta, Ma, kenapa Mama selalu kurung Ay di kamar? Ay juga tidak mau lahir tanpa ayah."
"Karena kamu aib, jadi harus di sembunyikan. Ini peringatan terakhir, jika sampai kamu berani keluar rumah lagi, Mama akan pergi dan akan menelantarkan kamu," tekan Kinan sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat di wajah sang putri.
Usai ucapan itu keluar, kaki Kinan bergerak melangkah keluar dengan napas memburu serta membanting kamar Ayyara dan menguncinya dari luar.
Ayyara masih menatap kepergian sang Ibu yang di iringi dengan amarah, setelah ia sendiri di kamar itu, air matanya langsung tumpah begitu saja seraya menggerakkan kakinya duduk di meja belajar yang di depannya sudah berhadapan dengan sebuah buku, tangan Ayyara mengambil dua benda itu dan menuliskan sesuatu.
"Jika ibuku saja tidak pernah mengharapkan kehadiranku, lantas bagaimana semesta bisa berpihak padaku? Sekotor itukah diriku sampai orang-orang tidak sudi memandangku? Ini bukan keinginanku, Tuhan, sampai kapan aku bisa bertahan sendirian sampai akhir?"
"Kapankah semesta berpihak padaku? Mati-Matian aku tetap menjaga kewarasanku untuk tidak mati di tangan sendiri, namun, semakin ku tahan semakin berkumpul rasa sakit itu hingga menjadi rasa sesak yang sudah melekat pada hidupku. Jika di tanya apakah aku lelah? Tentu saja rasa itu sudah ku rasakan sejak dulu, tapi karena terlalu terbiasa, rasa lelah dan sakit sudah menjadi teman hidupku."
"Bukan keinginanku terlahir tak bernasab dan di anggap aib oleh ibuku, aku menjalaninya secara terpaksa, karena mengeluh dan menangis pun tidak akan pernah bisa mengobati luka yang sudah dari dulu tercipta, satu hal yang pasti. Aku bagaikan seekor burung yang kedua sayapnya patah, tidak bisa terbang, dan harus terpaksa terkurung dalam sangkar dengan menahan sakit di sayapnya."
Tulisan yang ia tumpahkan dari kepalanya kini ia abadikan dalam buku diary itu, teman hidup kedua Ayyara setelah kekasihnya, dimana saat kapanpun dia sedih, itulah yang ia cari pertama kali, hubungannya dengan sang kekasih sudah berjalan sampai tiga tahun, dan tak jarang juga kekasihnya itu diam-diam datang ke rumahnya saat Kinan sedang tidak ada.
Tulisan itu tercipta dengan di iringi deraian air mata Ayyara, seakan ia bisa bercerita, dan hal itu bisa sedikit menghibur kondisi hatinya yang sedang kacau.
"Hiks..."
"Gue cuma pengen di peluk..." lirih gadis itu yang menahan isakannya di kerongkongan.
Jadi gimana prolognya?
Komen juga di cerita baruku, suka, nggak?
YOU ARE READING
SEMESTA YANG KU CARI
SpiritualBagaimana rasanya hidup yang terus terbayang oleh trauma? Itulah yang di rasakan seorang penulis yang menyalurkan hobbynya untuk menumpahkan isi kepalanya untuk di abadikan dalam sebuah buku. gadis yang tidak memiliki nasab bernama Ayyara Nindia Hum...