Siapa yang tidak mengenal anggota Dream?
Kumpulan anak orang kaya yang memiliki masa depan yang cerah sejak mereka lahir. Uang, kekuasaan, dan keinginan bisa mereka dapatkan dengan mudah. Keluarga mereka selalu mendukung apapun yang mereka lakukan, sehingga tidak ada seorang pun yang berani untuk melawan anggota Dream di sekolah ini.
Selain itu, anggota Dream juga terkenal dengan wajahnya yang rupawan. Tidak menutup kemungkinan hampir semua perempuan maupun laki-laki yang mengakui akan hal tersebut. Membuat mereka merasa di atas angin karena dielu-elukan setiap hari.
Otak cerdas, wajah tampan, dan keluarga terpandang. Bisa dikatakan bahwa mereka sempurna.
Namun kesempurnaan tidak jauh dari kata "serakah".
"Minggir, ada Dream!"
Teriakan seorang siswa tersebut sukses membuat kumpulan manusia yang berada didepan papan pengumuman memberikan celah lebar untuk Dream berjalan. Teriakan-teriakan kecil dari perempuan yang ada disana sudah biasa menjadi backsound kedatangan anggota tersebut.
"Wah, turun satu peringkat. Tamatlah riwayatku!" ucap pemuda berkulit lebih gelap dari pada teman-temannya yang lain. Matanya yang awalnya melihat angkat sepuluh, kini beralih keatas, menuju nama sahabatnya yang terpampang disana.
"Wakakakakak Nolan peringkat dua. Kau tidak lebih baik dariku!"
Teriakan itu sukses membuatnya mendapat pukulan di kepala.
"Aduh, apaan sih," perkataannya terhenti ketika melihat aura tidak mengenakkan dari sahabatnya yang bernama Nolan.
"Hei, ini hanya angka. Kami tau kau tetap yang terbaik di sekolah ini," ujar pemuda manis yang mencoba menenangkan sahabatnya.
"Jemmy hyung benar, hyung tetap keren kok meskipun dapat peringkat kedua," ujar pemuda jangkung.
"Mampus," desis Hega ketika melihat aura sahabatnya semakin gelap.
Nolan langsung membalikkan badannya dan meninggalkan kumpulan tersebut.
"Aku hanya mencoba menghibur," bela Jian karena pada kenyataannya dia memang mencoba menenangkan Nolan, tetapi tidak sesuai harapan.
Jemmy menepuk pelan pundak Jian.
"Ayo," kemudian mengajak mereka untuk mengikuti Nolan.
.
.
.Brakk
"Sial, apa salahku!" teriak seorang pemuda dengan amarah.
Nolan menahan tubuh pemuda itu dengan satu tangan setelah mendorongnya ke tembok. Di atap sekolah saat ini cukup sepi sehingga tidak ada seorang pun yang mendengar teriakannya.
Nolan memberi pukulan pada pipi kiri pemuda itu dengan keras, membuat pemuda yang lebih kecil darinya terhuyung dan jatuh.
Air mata sudah menganak di pelupuk matanya, namun dia mengingat kalau dia adalah laki-laki. Seorang laki-laki haruslah kuat dan bisa membela diri. Itu adalah pesan yang selalu diucapkan oleh neneknya.
Setelah mengusap matanya dengan kasar, di melirik Nolan yang sedang mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya.
"Orang miskin sepertimu tidak pantas masuk ke sekolah ini."
Satu hembusan asap dia arahkan ke Juna, pemuda yang baru saja di pukul, membuatnya terbatuk.
"Orang lemah sepertimu tidaklah lebih baik dariku!" teriak Nolan kemudian menarik lengan Juna dan menyulutkannya pada lengan tersebut.
"Arrggghhhh!"
Teriakan itu suskses membuat anggota Dream yang berdiri di balik pintu segera mendekat dan melerai mereka berdua.
"Pergilah," kata Jemmy sambil mendorong pelan pundak Nolan untuk menenangkannya.
Tanpa disuruh dua kali, Juna langsung berlari dari tempat itu sambil menggenggam lengannya erat. Air mata tak dapat dia bendung lagi.
"Kau gila?" ujar Hega tak habis pikir dengan sikap sahabatnya itu.
"Hanya pelajaran kecil, tak perlu diperbesar," jawab Nolan santai.
"Tapi itu sudah keterlaluan," lanjut Hega lagi.
"Seperti kalian tidak pernah membully anak itu saja," Nolan menyeringai.
"Asal tidak ada yang bocor saja, semua akan baik-baik saja," Nolan berjalan meninggalkan tempat itu. Dibalik perkataannya, terdapat ancaman disana.
Mereka selalu mengikuti dan menikmati permainan yang Nolan buat. Namun disisi lain mereka juga harus menjaga nama baik keluarga. Nama baik yang selalu orang gadang-gadangkan sebagai keluarga kaya raya yang dermawan dan suka menyantuni orang miskin. Sehingga membuat mereka harus selalu bermain bersih dan rapi.
.
.
.Nolan sedang duduk di meja makan. Ayahnya duduk di tengah, sementara dia duduk di sebelah ibunya di sisi kiri.
"Kau peringkat dua lagi?" tanya ayahnya tenang. Meski terlihat tenang, namun Nolan tau ada nada intimidasi disana.
"Maaf," ujar Nolan pelan. Kini dia tidak bernafsu untuk memakan makan malamnya. Garpu dan pisau masih setia dia genggam. Begitu erat untuk menyalurkan emosinya saat ini.
"Kau kalah dengan orang miskin itu lagi?" kali ini ayahnya menatap Nolan dengan pandangan merendahkan. Dia masih mengunyah makanannya dengan tenang.
"Aku bisa mengalahkannya," ujar Nolan dipenuhi dengan emosi.
"Itu yang kau katakan semester lalu," Dante, ayah Nolan, mengalihkan pandangannya dan memotong daginginya. "Lihatlah kakakmu, dia tidak pernah mengecewakan ayah."
"Tahun depan kau sudah masuk kuliah. Pastikan kau bisa masuk agensi dengan nilai terbaik," lanjut Dante.
Nolan menggenggam alat makannya semakin erat. Dia benci ini, dia benci keluarganya, dan dia sangat membenci kakaknya. Untuk saat ini yang paling dia benci adalah Juna. Anak miskin itu. Pemuda yang membuatnya berada disituasi seperti ini. Tanpa adanya Juna, dia tidak akan direndahkan oleh ayanya sendiri.
Sapuan lembut Nolan rasakan di kepalanya. Dia melirik kesamping dan memandang ibunya yang tersenyum lembut dengan wajah menenangkan. Nolan juga dapat melihat gerakan bibir ibunnya yang mengatakan 'Kau hebat'. Hal itu sedikit membuat hati Nolan menghangat.
"Aku sudah selesai," ujar Nolan tanpa menghabiskan makanannya. Dia berdiri dan pamit undur diri.
"Aku pulang."
Teriakan itu sempat menghentikan langkah Nolan untuk sesaat. Dia adalah kakak Nolan yang selalu dibanggakan oleh ayahnya. Kesempurnaan melekat padanya. Dan Nolan benci hal itu.
"Hei, kau sudah selesai makan?" ujar sang kakak setelah memberikan pelukan singkat. Tentunya Nolan sudah mencoba menepisnya meski gagal.
Nolan meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada panggilan yang dilayangkan oleh kakaknya.
.
.
.Pukul sepuluh malam, Juna keluar dari minimarket tempat kerja part time-nya. Sesekali dia meringis menahan perih pada lengannya.
Sesampainya di rumah dia langsung melepas kaos pendeknya. Gesekan kain pada luka bakar di lengannya membuat lukanya tak kunjung sembuh. Dia mengoleskaan obat luka bakar pada lengannya.
"Isshhhh," harusnya dia tadi langsung ke UKS atau dibasuh dengan air mengalir, namun dia terlalu panik sehingga langsung berlari ke dalam kelas.
Juna membuka buku pelajarannya setelah selesai mengobati lukanya dan memakai kaos tanpa lengan. Dia melihat ke arah kamar dimana neneknya berada. Sunyam kecil tersungging dibibirnya ketika melihat neneknya sudah tertidur dengan pulas.
Bagaimanapun dia tidak boleh kehilangan beasiswa yang telah dia dapatkan. Gertakan preman sekolah itu tidak ada apa-apanya dengan kehidupan yang telah dia lalui. Dia tidak mau terlihat lemah. Dia kuat dan harus percaya diri. Tidak ada yang bisa menghentikan jalannya termasuk para anggota Dream itu.
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was Him
FanfictionJuna divonis memiliki kelainan langka. Ketika beranjak dewasa tubuhnya lebih dominan ke wanita. 18 tahun hidup sebagai laki-laki, tiba-tiba harus menjadi wanita...