Seperti biasa, Juna saat ini sedang berada di kafe tempatnya bekerja. Tanpa diduga, dia mendapati Nolan sedang duduk sendirian tak jauh dari counter. Meskipun masih waspada, namun Juna berusaha untuk melayani Nolan seramah mungkin.
"Tunggu," ujar Nolan ketika Juna akan beranjak dari tempatnya.
"Ya?" ujar Juna dengan senyuman manisnya, menahan diri untuk mengontrol emosinya. Dia menggenggam buku menu dengan erat mencegah tangannya terlihat bergetar karena gugup.
"Boleh minta nomermu?" ujar Nolan dengan muka datarnya.
Bola mata Juna membulat, tidak menyangka Nolan akan meminta nomer HPnya.
"Tidak perlu kalau kau keberatan," ujar Nolan ketika tidak mendapat respon dari wanita dihadapannya.
"Ah maaf. Bukannya tidak boleh, tapi kita belum kenal," ujar Juna sambil tertawa canggung.
"Tidak masalah," jawab Nolan sekenanya.
Juna beranjak dari sana. Dia dapat merasakan kalau pandangan Nolan sedari tadi tertuju padanya. Kafe ini cukup terkenal di daerah itu. Tempatnya cukup nyaman untuk sekedar duduk dan menikmati secangkir kopi. Interior yang indah menambah kesan mewah pada kafe tersebut. Ditambah hampir setiap hari ada live musik yang menemani para pengunjung untuk bersantai.
Juna merasa beruntung dapat bekerja disini dengann rentang waktu yang relatif sangat singkat yaitu 3-5 jam per hari. Semua berkat kebaikan hatinya menolong seorang kakek yang hampir di tabrak mobil dan ternyata kakek tersebut adalah kakek dari pemilik kafe ini.
"Kerja bagus, Rena," ujar Tommy sang pemilik kafe sambil mengacungkan jempolnya. Nyatanya banyak pelanggan yang suka dengan pelayanan Juna di kafe ini. Selain cantik, dia juga ramah sehingga tak sedikit pelanggan yang menyanjungnya di hadapan Tommy.
"Thanks Boss," ujar Juna menimpali. "Aku balik dulu," lanjutnya.
"Mau kuantar?" tanya Tommy ketika melihat jam dipergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.30. Sedikitnya dia merasa bersalah karena membuat Juna harus menghabiskan waktu 30 menit untuk membantunya membersihkan kafe. Salah satu pegawainya izin karena sakit.
"Tidak perlu Bos, kosku dekat sini," jawabnya menenangkan Tommy yang menunjukkan rasa bersalah di wajahnya. Dia juga tidak mungkin membiarkan Tommy mengetahui bahwa dirinya sebenarnya tinggal di dorm agensi N.
"Kau yakin?"
"Sangat yakin. Sebaikanya bos segera pulang. Aku duluan."
.
Juna berjalan menyusuri jalan. Jarak kafe dengan dormnya memang tidaklah dekat, namun tidak terlalu jauh juga. Masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama 15 menit.
Malam itu, Juna merasa ada seseorang yang mengikutinya. Namun dia tidak mendapati siapapun disana. Hanya dia sendirian. Sampai dia melihat 10 meter di depannya ada 2 orang yang terlihat sedang mabuk sambil tertawa yang entah mengobrolkan apa.
Juna memakai hoodienya. Dia memang belum berganti pakaian, namun dia memakai hoodie longgar untuk menutupi kalau dia adalah perempuan. Tanpa diduga dua pemuda itu mencegatnya.
"Hai manis, mau bersenang-senang dengan kami?" ujar salah seorang disana sambil menunduk mencoba melihat wajah Juna yang sedari tadi tertutup hoodie.
"Hei, jangan sombong," ujar pemuda satunya. Tangannya terangkat, berniat untuk membuka hoodie yang dikenakan Juna.
Sebelum tangan itu sempat menyentuh Juna, sebuah tangan lain muncul untuk mencegahnya.
"Dia bersamaku," ujar seorang pemuda di belakang Juna dengan nada suara berat memberikan ancaman pada lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was Him
FanfictionJuna divonis memiliki kelainan langka. Ketika beranjak dewasa tubuhnya lebih dominan ke wanita. 18 tahun hidup sebagai laki-laki, tiba-tiba harus menjadi wanita...