Dorm
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Lampu sudah dimatikan sejak dua jam yang lalu. Juna membuka matanya, memusatkan pandangannya di tengah temaramnya ruangan kamar. Hanya cahaya dari jendela yang lolos masuk ke kamar itu.
Juna menoleh kesamping, melihat Nolan yang terlihat tertidur pulas dengan selimut tebal dan wajah menghadap kearah tembok. Dia beranjak dari tempat tidurnya perlahan. Korset yang dia pakai membuat dadanya sesak. Meskipun sudah meminum obat penahan hormon, namun dadanya masih tumbuh. Meskipun tidak terlalu besar, namun cukup terlihat kalau dia tidak menggunakan korset.
Juna bernapas lega setelah keluar dari kamar mandi. Korset yang dipakainya dia taruh di laci bawah tempat tidurnya. Kini dia bisa tidur dengan lebih nyaman.
Tanpa diketahui Juna, Nolan membuka matanya kemudian menoleh ke arah Juna yang kini tertidur lelap.
.
.
.
Nolan membuka matanya. Cahaya matahari cukup terang memasuki kamar. Dia menoleh kesamping, mendapati kasur yang sudah rapi dengan selimut yang terlipat dan boneka babi gendut di dekat bantal. Kekanakan sekali. Nolan masih tidak habis pikir dia harus menghabiskan masa kuliahnya dengan orang menyebalkan dan menyedihkan itu.
Nolan tidak tau sejak kapan dia membenci orang itu. Hanya saja, ketika melihat Juna dia seperti melihat dirinya sendiri. Menyedihkan. Namun yang berbeda, pemuda itu masih bisa tersenyum sedangkan dia tidak. Seperti didorong sesuatu, Nolan terobsesi untuk melenyapkan senyum yang ada di wajah pemuda itu.
Nolan menghela napas sebelum bangun dari tempat tidurnya. Dia berdiri disana dengan rambut berantakan. Arah matanya tertuju pada laci paling atas di bawah ranjang Juna. Dengan lancang dan tanpa permisi, Nolan membuka laci itu.
Tidak ada hal yang mencurigakan disana. Hanya ada kaos kaki dan topi. Lalu kenapa Nolan begitu penasaran dengan benda yang ditaruh oleh Juna semalam? Lalu sejak kapan Nolan jadi sekepo ini dengan barang milik orang lain. Dia bahkan bisa membelinya berkali lipat lebih banyak dari pada pemuda bodoh itu.
.
.
.
Juna merapikan buku yang ada di mejanya saat 3 orang teman sekelasnya berjalan mendekat. Juna mendongak, dia tidak terlalu ingat siapa nama mereka namun dia tahu kalau salah satu dari mereka berasal dari sekolah yang sama dengannya. Juna pernah melihatnya.
"Juna?"
"Hmm?" Juna menunggu apa yang akan dikatakan oleh teman sekelasnya tersebut.
"Kau manis juga," ujar salah diantara mereka sambil mengedipkan matanya. Temannya tertawa mendengar pernyataan dari pemuda itu.
Sementara itu Juna hanya bisa bengong menanggapi gurauan tidak lucu yang dilontarkan oleh pemuda di hadapannya.
"Aku Lucas. Ingat itu," dengan itu 3 pemuda yang salah satunya bernama Lucas meninggalkan Juna yang masih tidak mengerti dengan maksud mereka mendatanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was Him
FanfictionJuna divonis memiliki kelainan langka. Ketika beranjak dewasa tubuhnya lebih dominan ke wanita. 18 tahun hidup sebagai laki-laki, tiba-tiba harus menjadi wanita...