BAB 1

7 1 0
                                    

"harusnya kamu bisa kayak mas-mu itu. Fokus sama akademik, liat ini nilai kamu jauh sama Indra?!" Pria parubaya itu melempar kertas yang tadi di genggamnya yang tepat mengenai wajah gadis itu.

Indri hanya diam bergeming dengan wajah datar, ia lalu berjongkok dan memunguti kertas-kertas nilai ujian nya. Sudah biasa ia seperti ini, setiap kali nilai ujiannya berbeda dengan kakak kembarnya ia bakal langsung menerima amarah sang Ayah biar pun itu hanya berbeda persekian koma saja.

"Kembali ke kamar, papa muak liat muka kamu. Percuma papa sekolahin kamu di sekolah mahal kalo ujung-ujungnya kamu tetep aja bodoh. Emang dasar gak guna!".

Eka menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang kerjanya. Pria empat puluh tahunan itu mengurut pelipisnya yang berdenyut. Sementara Indri beranjak keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tak jauh darinya, tepat di samping tangga ia dapat melihat sang kakak kembarnya berdiri dengan wajah khawatir. Segera ia berjalan cepat dan melewati pemuda itu. Dengan sekuat tenaga ia membanting pintu kamar sampai menimbulkan suara yang cukup kencang, gadis itu lalu membanting semua kertas jawaban ujian itu dan langsung terduduk lesu bersandar pada pintu.

"Sampe kapan?" Indri menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

Ia memang tak menangis, lebih tepatnya sudah enggan untuk membiarkan air mata nya mengalir. Ucapan itu memang sudah biasa ia dengar dan terima, tapi tetap saja menyakitkan terlebih ucapan itu keluar dari ayah kandungnya sendiri.

"Dek, boleh mas masuk?" Indra berdiri di luar pintu kamar adiknya. Tak perlu bertanya apa yang terjadi? Ia sudah tahu semua.

"Mas, aku mau sendiri dulu ya. Mas balik ke kamar aja" Indri menyahut dengan suara yang sedikit bergetar.

"Kamu yakin oke?" Dan dari dalam kamar Indri mengiyakannya.

Malam bertambah tua dengan deru angin yang bertiup kencang, membawa dinginnya malam menusuk kulit yang hanya terbalut kain piyama tipis. Indri duduk di balkon kamarnya, membiarkan pintu terbuka lebar membawa dingin masuk. Ia menatap jalanan di depan rumah yang sepi dan lumayan gelap.

"Sabar Indri, tiga Minggu lagi. Jangan biarin emosi kamu ambil alih" monolognya.

Esok paginya Susana sarapan ketiganya terasa begitu hening, hanya terdengar dentingan garpu maupun sendok yang mengenai piring.

"Tiga minggu lagi acara pemilihan kepala keluarga di adakan, kita sebagai tuan rumah harus memberikan yang terbaik" ujar Eka menatap kedua anaknya terutama Indri yang duduk di samping Indra.

"Papa nggak terima kecacatan apapun itu, jadi pastikan penampilan pianomu sempurna, Indri" sambungnya.

"Iya pah".

Di dalam mobil terasa sangat canggung untuk Indra, biasanya ia akan berceloteh ria sambil tertawa bersama adiknya. Tapi karena suasana hati adik kembarnya itu pasti  belum membaik setelah kejadian semalam, maka Indra lebih memilih diam. Indri sendiri lebih memilih menatap kearah jalanan. Pikirannya sendiri masih berkutat dengan segala rencana dan resiko yang akan ia ambil nanti terlebih rencana itu pasti akan membuat sedih Indra.

Saat ia keluar dari mobil dan tengah menunggu Indra memarkirkan mobilnya, tiba-tiba ada seseorang yang menyengol bahunya cukup keras.

"Ups maaf mbak, nggak liat aku" ujarnya. Biarpun ia mengatakan maaf, tapi suara dan ekspresi wajahnya berkata lain.

"Ya nggak masalah".

Mayang Sari Dwi Dharma, anak dari adik ayahnya, paman Dwi. Entah karena apa, Mayang sering sekali usil padanya. Padahal Indri tidak pernah punya masalah dengan gadis itu.

"Aku denger mbak di marahin Om Eka lagi ya Upss... keceplosan" ujarnya sambil menutup mulut.

Tak tahan.

Indri langsung meninggalkan gadis itu dan berjalan cepat menuju ruang kelas. Sesampainya dikelas ia langsung duduk dan menenggelamkannya wajah di lipatan tangan, mencoba mengabaikan perkataan sepupunya dan ucapan ayahnya. Namun tak lama ia merasakan ada sebuah tangan yang mendarat di kepalanya lalu mengusapnya pelan.

"Maafin mas ya. Gara-gara mas, kamu jadi dimarahin papah terus". Indra menunduk leluh. Ia merasa seperti kakak yang tidak berguna.

"Nggak papa, udah biasa juga" Indri menyingkirkan tangan Indra dari kepalanya, lalu menatapa pemuda itu dengan senyum lembut.

"Mas kan kuat, masa begitu aja mendadak lembek. Gak lucu banget" sambungnya sambil terkekeh kecil. Indra ikut terkekeh dan keduanya kembali berceloteh ria sampai bell berbunyi nyaring.

"Mas mau ke kantin, kamu mau nitip apa?". Indri nampak berpikir sebentar.

"Roti aja sama nasi bungkus " ucapnya. Indra lalu membentuk simbol ok dengan jarinya.

Indri mengeluarkan buku mata pelajaran berikutnya. Sudah menjadi sebuah kebiasaan untuknya belajar di jam istirahat, jika saja bukan karena Indra, Indri pasti akan sering melewatkan istirahat makan siang.

Sejak kecil Indra memang tak pernah bisa jauh dari saudari kembarnya, bahkan saat keduanya memasuki smp pernah sekali Indra dan Indri berbeda kelas dan pemuda itu sampai mogok makan agar bisa sekelas dengan adiknya, tapi berakhir Indri juga yang kena marah ayahnya.

Indri tersenyum kecil mengingat dulu mereka mendapatkan kasih sayang yang sama dari ayah dan bundanya. Tapi itu semua hancur karena kejadian naas itu.

"Hayo ngelamun mulu, awas kesambet setan kelas nanti" Indri mengelus dada meredakan debaran jantung yang meningkat karena kelakuan Ayana.

Gadis cantik dengan kacamata bundar itu duduk di depan Indri lalu menyodorkan sebotol minuman yang ia beli tadi.

"Minum, tar lu gagal fokus" candanya. Indri hanya menanggapinya dengan senyuman dan meneguk minuman susu strawberry itu sampai tinggal setengahnya.

"Makasih, lu nggak ke kantin?".

"Nggak, di kantin ramenya kek ada barang branded diskon 80%" ujarnya.

"Nyogok makanya" Ucap Indri yang kembali fokus ke buku paket Fisika di hadapannya.

"No! bukan kebiasaan gue buat nyela antrian". Ayana.

Lee Seo han atau biasa dipanggil Ayana, dia murid pindahan dari seoul. Cantik, baik dan awalnya Indri kira gadis itu pemalu. Tapi begitu mereka dekat, anggapan itu ia hempas jauh-jauh. Dia satu-satunya orang yang mau berteman dengannya, sebelum-sebelumnya banyak yang nggan berteman dengannya karena rumor Indra yang Brocon, namun Ayana tidak perduli dan memaklumi hal itu.

"Mas mu mana?" tanyanya saat tak melihat keberadaan Indra.

"Kantin, beli makan".

"Enak ya punya abang kak mas Indra, aku sampe iri" Ayana sebenarnya iri dengan persaudaraan Indra dan Indri, mereka terlihat begitu akrab, sangat berbeda dengannya. Tapi, Ayana sendiri sering diperlakukan sama oleh kembaran Indri itu.

"Mas gue, abang lu juga. Jadi gak usah ngomong gitu".

Tak lama Indra datang dengan menenteng satu kantong plastik berisi makanan yang Indri pesan, namun kedua gadis itu malah berfokus pada sosok lain yang mengekori Indra.

"Mas angga" ujar Indri. Rangga melambaikan tangannya sambil tersenyum.



Hallo there👋.

Ya, seperti biasa buku ini hanya penyalur ide yang mendadak muncul entah dari mana dan kapan saja. Semoga suka dan enjoy.

Ya ku gak bisa buat prolog jadi langsung to Bab pertama deh

TWINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang