Bab 1. Hari Pernikahan

55 1 0
                                    

Hay semua aku datang lagi, mohon dukungannya dengan cara vote dan komen yah, kalau boleh serakah dikit follow sekalian yah, makasih 😁🙏

Sebuah senyum terukir sendu di bibir ranum yang terpoles lipcream warna nude dari seorang wanita cantik yang kini tengah merapihkan pakaian suaminya dengan perasaan gamang.

Netranya berhadapan langsung dengan dada bidang sang suami yang ia jadikan sebagai tempat bersandar selama lima tahun terakhir ini, tempat yang ia kira selamanya hanya akan menjadi miliknya. Namun rupanya takdir tak setuju dengan angannya, nyatanya sebentar lagi tempat ternyaman itu akan terbagi dengan wanita lain.

Cahaya mengerjap saat tangan besar menangkup wajahnya, netranya berkaca-kaca membuat lelaki yang sejak tadi berkecamuk dalam pikirannya itu menghela napasnya dalam.

"Maaf. Maafkan aku, Sayang... Sungguh, aku tak berniat untuk menyakitimu."

Air mata yang sejak tadi mendesak di kedua mata perempuan itu tak lagi dapat ditahan, bulir bening itu akhirnya luruh menunjukkan betapa lemah dirinya saat ini.

Lagi, hanya senyum kepalsuan yang ia tunjukkan sebagai jawaban dari kata maaf yang diucapkan suaminya. Lelaki yang ia harapkan akan terus menjaganya hingga ajal merenggut nyawanya, namun sekarang perempuan itu tak lagi yakin sebab ia tahu sang suami tak akan hanya menjadi miliknya lagi.

"Sayang... Tolong bicara, sudah sejak semalam kamu mendiamkan aku, rasanya aku tersiksa."

Cahaya, perempuan yang tengah diliputi perasaan sedih dan terluka itu menghela napas panjang, netranya yang dipenuhi embun menatap lekat pada suaminya.

"Apa yang harus aku katakan, Mas? Haruskah aku mengucapkan selamat untuk pernikahanmu ini?" tanyanya dengan suara bergetar, membuat hati Askara sang suami teriris perih.

"Tolong ampuni suamimu ini, Sayang..." Askara bergumam lirih, lelaki itu lalu membawa tubuh perempuan yang sangat dicintainya dalam pelukan. Andai sang ibu tidak memaksanya, dia bersumpah tak akan menghianati wanitanya ini.

Cahaya terisak lirih, perempuan yang selama ini selalu berusaha menguatkan dirinya itu akhirnya menunjukkan kerapuhannya. Kedua lengannya membalas pelukan sang suami tak kalah eratnya, biarlah sekarang dia menikmati pelukan ternyaman ini sebelum nanti kedua lengan suaminya juga memeluk wanita lain.

"Sakit sekali, Mas..." Cahaya bergumam lirih di antara isak tangisnya, rasanya dia ingin berteriak mengutarakan rasa sakitnya namun ia tak mampu hingga hanya tangisan yang bisa ia keluarkan sebagai bentuk meluapkan rasa sakit.

Askara semakin mengeratkan dekapannya, dagunya bertumpu pada puncak kepala sang istri. Rasa bersalah seakan menarik kuat jantungnya, tangisan kesedihan sang istri membuatnya merasa menjadi lelaki paling jahat sedunia.

Detik demi detik terus berjalan, cukup lama Cahaya menumpahkan tangisnya dalam pelukan sang suami. Kini isakan itu telah terhenti, hanya menyisakan sedikit nafas yang tak beraturan.

Cahaya lalu melepaskan pelukan suaminya, menghapus sendiri air matanya tanpa menunggu jemari sang suami menghapusnya seperti apa yang selalu dilakukan lelaki itu setiap kali dirinya menangis.

Sekarang, Cahaya harus membiasakan diri karena sebentar lagi dia akan selalu menghapus air matanya sendiri karena suaminya tak akan selalu ada untuknya lagi.

"Kenapa kamu menyetujui pernikahan ini bila pada akhirnya kamu tak bisa merelakan aku."

Cahaya kembali menunduk, sesaat kemudian perempuan berhijab abu tua itu mendongakan wajahnya menatap netra bening yang selama ini selalu membuatnya candu.

"Memangnya apa yang bisa aku lakukan selain menerima dan menyetujui, Mas?" tanya Cahaya.

"Dan kalau soal rela merelakan, perempuan mana yang bisa dengan mudah merelakan suaminya untuk dimiliki wanita lain." Cahaya berucap pelan, suaranya terdengar bergetar menambah sesak di hati Askara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Madu Dari MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang