1. Pandangan Pertama

107 28 8
                                    

Pagi-pagi sekali matahari bersinar terang, seorang laki-laki tampan sedang menyisir rambut hitamnya. Ia merapikan kerah baju dengan sok kerennya dengan langkah gontai menuju ruang makan hanya terlihat seorang lelaki paruh baya yang menyuapkan nasi goreng dalam mulutnya.

BRAKK

"Anak sialan!" umpat lelaki paruh baya itu mendongak melihat anaknya itu malah tersenyum jahil.

Raihan Fran Cello, lelaki tampan dengan wajah lumayan di antara anak sekolah lainnya. Ia menggebrak meja makan tersebut sehingga piring-piring berbunyi cukup kencang. Sedangkan Barane— Ayah sudah menggerutu dengan tingkah anaknya itu.

"Elah, Bro. Gitu doang kagetan, wajar aja udah tua."

Barane yang di di ejek mengumpat dalam hati, untung saja Raihan adalah anaknya kalo bukan. Mungkin Barane akan menjualnya dengan Tante-tante girang.

"Duduk sekarang jangan banyak ngomong. Suara lo kayak anjing kejepit," ledeknya dengan mata melongos fokus ke nasi goreng kembali.

"Minta dikit, nggak ngaruh," serobot Raihan menarik tangan Barane yang sudah mau memasuki nasi goreng ke mulutnya. Namun, malah berbalik menghampiri mulut Raihan.

"Lumayan kalo di nilai rasanya untuk sekarang 1/0 sih," cicitnya memegang dagu sambil berpikir.

Ayahnya— Barane berdiri mentempeleng Raihan tanpa rasa bersalah, Raihan terkekeh sudah membuat Barane emosian di pagi hari.

"Kamu kurang ajar banget sama Ayah, seharusnya kasih 100. Ayah buatnya dengan kasih sayang sebesar dunia."

Saat ini Barane merentangkan tangan seluas samudra kalo rasa nasi goreng itu luar biasa enak, namun lagi dengan kurang ajarnya Raihan duduk di atas meja sambil memegang dagunya.

"Sayang ya? Kalo sayang cium dong, Yah." Raihan bercicit manja membuat Barane bergidik ngeri melihatnya.

"Udah gede juga, ngapain minta cium kecuali anak cewek bolehlah."

"Idih, cabul banget sumpah!"

Barane menatap nanar wajah sang anak penuh permusuhan, Raihan menyadari itu melongos kabur sambil memberi jari tengah.

"Kurang ajar kamu jadi anak!" teriaknya melotot sempurna, Raihan malah tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya itu hanya candaan mengetahui itu Barane tersenyum kecil lalu duduk kembali dengan raut berubah sendu.

"Sayang, anak kamu udah gede makin nggak punya akhlak," gumamnya pelan tersenyum kecil.

Di tempat lain, gadis cantik sedang mengulang teksnya yang akan di tampilkan di SMA Purna Wijaya, setiap tahunnya SMA tersebut membuat kompetisi perlombaan jelas pemenang dari lomba tersebut bisa masuk ke SMA tersebut tanpa tes.

SMA Purni Wijaya di kenal sekolah unggulan karena sudah sering menjuarai beberapa perlombaan hingga banyak dari SMP lain ingin masuk ke sana termasuk dirinya.

"Anista," panggilnya mengetuk pelan pintu kamarnya.

Gadis itu menoleh ke arah pintu tidak menyahut namun langsung membukakan pintunya, tertampil senyum manis dari sang gadis.

"Ayo, katanya hari lomba kenapa lama di dalam?"

"Hehe, aku habis ngulangi lagi aja, Ma."

"Astaga Queen! Kamu nggak liat jam, hah?" sentak Diaza— Mama Queen.

Sedangkan gadis cantik itu hanya cengengesan menggaruk tengkuknya.

"Nanti ya, Ma aku ma—"

"Sekarang!" potong Diaza mendelik tajam dan Queen tersentak kaget karena pelototan Diaza sungguh mengerikan.

Asmara Abu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang