#3 Ilusi

26 5 2
                                    

Sayup-sayup masih terdengar di dalam ingatan, ucapan seorang gadis berambut putih panjang dari dalam sebuah ruang misterius ketika memasuki rumah tua. Luis memegangi kepala yang berdenyut, seolah melupakan hal penting. Walaupun pengalaman dari rumah tua itu hanya terasa seperti kejadian acak dari kehidupan di dunia ini, ada satu hal mengganggu dari wajah gadis itu. Dia memang cantik, seperti boneka porselen. Anehnya gadis tersebut berwajah sangat mirip dengan Luis, seolah keduanya adalah saudara kembar.

Tapi seberapa keras Luis mencoba, tidak teringat sama sekali kalau Luis memiliki kembaran.

Saat ini, matahari sudah benar-benar tenggelam. Waktu selalu berjalan cepat jika kita tak memperhatikan. Baju yang sebelumnya basah kuyup, kini sudah kering secara natural. Bukan berarti tak kedinginan, Luis hanya tidak menemukan tempat yang cocok untuk berganti pakaian. Bahkan suhu tubuh Luis kembali naik, setelah sebelumnya berhasil turun. Itu membuat kulit putih remaja itu terlihat semakin pucat di bawah sorotan cahaya malam.

Langkah yang tak seimbang di atas tanah beraspal, meninggalkan jejak kaki tak beraturan di belakang. Lensa mata merah itu terlihat tidak fokus, gigil merambati sekujur badan hingga terasa menusuk tulang.

Karena sakit, berbagai pikiran mulai bermunculan dalam kepala. Luis merogoh kantung celananya, menghitung sisa uang yang hanya cukup untuk sekitar tujuh hari lagi dengan berhemat. Walau di dalam kepala ada keinginan menyimpan uang tersebut lebih lama, namun remaja laki-laki berlensa merah tersebut sudah merasa sangat lapar seharian ini. Ia belum makan atau minum apapun sejak pagi, dan tubuhnya membutuhkan energi tambahan agar segera pulih.

Tanpa sengaja, suara embusan napas keluar dari mulut. "Sepertinya Alexandre Albain sudah terlepas dari kebutuhan biologis," ujar Luis pelan, entah bagaimana kepalanya masih teringat tokoh tersebut. Mungkin Alexandre Albain sudah tidak bisa disebut makhluk hidup, begitulah apa yang dia pikirkan.

"Siapa yang sedang kau bicarakan?" Tiba-tiba, sosok pria tinggi muncul entah dari mana. Ia berdiri santai tepat di hadapan Luis, dan menatap langsung dengan lensa mata biru tua yang berbinar jernih secara alami.

Luis terkejut. Seketika menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan lingkungan, hanya ada pepohonan dan jalanan lurus tanpa hambatan. Sungguh, sebelumnya tak ada orang di sekitar tempat ini.

Sepanjang jalan tadi, Luis juga bahkan tak menemukan tanda kehidupan hewan sama sekali. Telinga Luis bisa menangkap suara tetesan air hingga detak jantung dalam jarak lima ratus meter, tapi bagaimana bisa ia tak mengetahui adanya suara langkah mendekat?

Apa dia memang sudah ada di sana sejak tadi? Tapi Luis sama sekali tidak melihat dia.

"Kelihatannya kau sakit, mampirlah ke rumahku." Pria dengan pakaian serba hitam dari topi baseball, kaus berlengan panjang, celana bahan, hingga sepatu boots tersenyum simpul. Sudut mata melengkung di kedua sisi hidungnya yang mancung, nyaris tertutup oleh rambut cokelat keemasan di bawah topi.

Sebenarnya, Luis ragu untuk mengikuti pria asing tak dikenal di hadapan. Namun ada hal lain dari dirinya yang seakan menggerutu hingga membuat gelisah untuk menolak tawaran. Tubuh yang sakit, dan terus-menerus merasa haus juga sangat menyiksa. Suhu udara tempat ini juga terlalu dingin untuk bermalam tanpa kediaman.

Di tambah, pria misterius itu dikelilingi energi tak biasa. Namun melihat para cahaya roh berkerumun tenang di sekeliling dia, mungkin orang ini memang hanya berniat membantu tanpa maksud lain.

Pria itu terkekeh. "Panggil aku Felix. Apa kau butuh digendong?" Dengan mengulurkan tangan ke depan tubuh Luis, lensa mata biru yang tak biasa berkilat kala mereka bertemu pandang. "Jangan takut, aku tidak menggigit," candanya.

Tales of TabooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang