DOR!
"Seperti ini? Kau bisa melakukannya?" Gabrian terhentak. Jantungnya berdegup kencang. Patimpus dengan lihai memainkan senapan di tangannya sementara Gabrian hanya melongo.
Dirinya tak terbiasa dengan perburuan. Terlebih, telinganya terasa pecah kala mendengar dentuman keras dari senapan itu. Gabrian sontak menutup telinganya. Kupingnya berdengung.
"Guru, aku ragu melakukannya," ujarnya sambil terus menekan telinganya. Patimpus hanya terkekeh pelan, dia merapikan sarung di bahunya lalu menepuk pundak lelaki itu.
"Tunjukkan padaku kemampuanmu. Kau tak perlu takut. Tak ada yang akan menerkam dirimu." Gabrian menatap senapan itu lamat-lamat. Perasaan cemas perlahan menjalar ke nadinya. Dia takut sekali dengan senapan itu dan kekuatan magis di dalamnya.
"Nak, kau sudah ku anggap seperti anakku. Anak seorang Patimpus haruslah bersahaja dan mujur (baik). Kau itu cakap, pintar, dan bisa diandalkan. Hanya nyalimu saja seperti udang. Laki-laki harusnya handal dalam segala hal. Kau adalah hambaku yang sejati." Patimpus berbicara dengan nadanya yang berwibawa. Hati pria itu tersentuh. Dia tak salah dengar kan? Ternyata pendiri kota Medan itu sudah menganggapnya anak.
"Guru, aku takut tak mampu penuhi maumu." Patimpus tertawa, tangannya yang mulai mengkerut memberi senapan dengan satu tangan ke Gabrian.
"Ambil lah dulu senapan ini. Tak baik membiarkan pria tua membawa beban berat." Gabrian menatap Patimpus, apa-apaan? Jelas-jelas 'pria tua' itu bahkan masih sanggup mengangkat singa buruan sendirian.
Merasa tak punya pilihan lain, Gabrian dengan berat hati mengambil senapan kuno itu. Dirinya benar-benar gugup sekarang. Bagaimana caranya membunuh hewan liar? Menarik pelatuk saja dia tak pernah.
Aduh, Gabrian tak terlalu ingat tentang film-film aksi yang ditontonnya. Setahunya, memegang senapan itu dengan dua tangan. Gabrian menempelkan jarinya di belakang pelatuk. Hanya sekedar menempel, dia enggan menariknya.
Melihat Gabrian yang kesusahan, Patimpus berinisiatif memperbaiki postur tubuh memegang senapan yang benar.
"Jangan menempelkan jari pada pelatuk, tetapi peganglah gagang senapan di belakang pelatuk dengan jarimu yang lain." Patimpus memperbaiki letak jari pria muda itu.
"Kaki harus selebar bahu, lutut agak tertekuk, arahkan pandangan lurus ke kelinci itu." Patimpus memperbaiki postur bahu dan menekan bahu Gabrian hingga lutut pria itu tertekuk.
"Genggam senapan dengan aman tetapi lembut, seperti berjabat tangan ringan." Terakhir, Patimpus memperbaiki postur pegangan Gabrian pada senapan. Gabrian menurut, dia memang merasa sekarang posturnya lebih nyaman dan ringan setelah diperbaiki.
"Nah, sekarang fokuslah! Tatap kelinci itu baik-baik. Anggap dirimu harimau yang siap menerkam mangsamu." Gabrian menghembuskan nafasnya berharap satu hembusan nafas itu mampu menenangkannya.
Gabrian menatap kelinci putih yang lucu berlarian tak jauh di depannya. Gabrian mengigit bibirnya sedikit lalu memejamkan matanya.
"Jangan pejamkan matamu! Tempelkan kepalamu ke genggaman senapan, lalu tutup sebelah mata untuk memfokuskan pandangan." Kedua matanya kembali terbuka. Astaga, ini jauh lebih rumit daripada memegang pisau bedah.
Dengan keberanian ekstra, Gabrian mencoba fokus ke kelinci putih lucu itu. 10 detik terakhir dia habiskan untuk mengatur nafas. 5 detik berikutnya, ia mulai menarik pelatuk.
DOR! DOR!
Dua peluru dia tembakan sekaligus. Badan lelaki itu sedikit terhentak, tak terbiasa dengan dorongan kuat hasil tembakan. Kena! Tembakan mendarat mulus ke kepala kelinci mungil itu. Kasihan sekali. Darah segar mengalir dari tubuh kelinci kecil itu.
"Bagus, Nak! Kau pasti bisa jikalau mencoba." Patimpus tersenyum bangga. Senyum yang sama saat melihat anak pertamanya dapat berjalan di umur kurang dari satu tahun.
Gabrian tersenyum, dirinya berlari ke arah kelinci itu. Namun, ada yang aneh. Saat Gabrian melihat bangkai kelinci itu dan mengangkatnya, tiba-tiba kelinci itu melompat kembali.
"Hidup lagi?!" Dirinya berteriak histeris. Kelinci itu berhasil keluar dari genggamannya dan berlari kencang ke sana kemari.
Dengan segera, Gabrian mengejar si kelinci. Beberapa meter berlari, rerumputan mulai berubah menjadi bebatuan. Gabrian belum menyadari itu. Beberapa belas meter, ia mulai sadar, pepohonan rimba mulai hilang dan astaga! Kelincinya bertambah banyak!
Dirinya bingung sekali. Apa yang terjadi? Badannya menoleh ke belakang. Matanya membelok kaget. Kenapa di tempat ini banyak orang yang berdagang? Dia baru sadar bahwa sekarang dia berada di tempat yang seperti sebuah pasar jaman dulu.
Gabrian memijat kepalanya. Guru Patimpus tak lagi nampak di belakangnya, padahal jelas-jelas sang Guru masih berada di belakangnya tadi. Sekarang, yang ada di belakangnya hanyalah kerumunan orang-orang yang sedang melakukan perdagangan.
Sial, sial, sial. Ini pasti karena senapan itu. Senapan yang membuat Gabrian harus melewati semua teka-teki masa lalu ini. Dokter muda itu melihat dirinya, meraba pakaiannya. Pakaiannya tak jauh berbeda, hanya dibaluti kain dari kulit kayu sederhana.
"Diam disitu kau pencuri!" Gabrian terhentak kaget. Apa dia tak salah dengar? Baru saja ada orang yang berteriak keras tak jauh dari dirinya. Gabrian menoleh ke belakang. Tampak seorang pria yang lebih tua darinya, bertubuh gempal, dan berwajah sangar, menatapnya dengan tajam.
"Iya! Kau pencuri! Diam disana!" Dokter muda itu terpaku. Sejak kapan dia mencuri?
Tak sempat dia memberi pembelaan, tubuh gempal itu mulai mengejarnya. Gabrian dengan instingnya mulai berlari. Aduh, cobaan apa lagi ini?
Terjadilah insiden kejar-kejaran yang menghebohkan penghuni pasar. Gabrian bergerak lincah menjauhi penuduh di belakangnya. Ternyata, lomba lari jarak jauh yang dulu sempat ditekuninya membuahkan hasil. Tak disangka dapat berguna di saat yang genting ini.
Gabrian melirik ke belakang, dirinya bergidik ngeri. Bayangkan tubuh gempal itu berhasil menangkapnya. Gabrian menggeleng. Astaga, jangan sampai.
Namun, kejar-kejaran itu tak berlangsung lama. Di depan Gabrian, secara tiba-tiba muncul lah seekor kuda yang menghalangi pandangannya.
BRUK!
Gabrian menabrak kuda itu. Sang kuda coklat menukik dan mengeluarkan suaranya yang nyaring. Si penunggang nampak tenang mengatur kuda yang ditumpanginya.
Gabrian jatuh terduduk. Teriknya sinar matahari menyilaukan pandangannya untuk melihat si penunggang. Astaga, celakalah dia. Gabrian menoleh ke belakang. Si gempal itu mulai mendekat, semakin mendekat, Gabrian menutup matanya.
"Salam bagi paduka Gocah Pahlawan." Si gempal mulai berlutut dan menunduk di hadapan penunggang kuda coklat itu.
Gabrian membuka matanya. Apa-apaan? Kembali ia melihat sang penunggang. Matanya memicing. Dihalanginya sinar matahari yang menyilaukan dengan tangannya.
"Salam bagi paduka Gocah Pahlawan!" Secara tiba-tiba, seluruh orang di pasar mulai berlutut seperti si gempal. Semuanya mengucapkan kata yang sama dengan serempak.
Gocah pahlawan? Astaga. Gabrian mulai meneguk ludahnya kasar. Sekarang ia tahu, dirinya berada di tahun 1600an. Era tempat Gocah Pahlawan yang berambisi menguasai kota Medan.
TBC
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTARNYA YA!
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapan Usang Milik Kakek
Historische RomaneDOR! Kau akan kembali ke masa lalu. est 2023.